Ruang Ekspresi dari Bali

Tampilkan postingan dengan label Pariwisata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pariwisata. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Desember 2025

Pansus TRAP DPRD Bali Tegas Jaga Jatiluwih, Tegak Melindungi Ruang Hidup Petani

Foto: Pansus TRAP DPRD Bali jaga keasrian Jatiluwih.

Tabanan (aspirasibali.my.id)

Langkah cepat dan tegas Panitia Khusus Tata Ruang dan Aset Pemerintah (Pansus TRAP) DPRD Bali dalam mengawal penataan Kawasan Jatiluwih mendapat sorotan positif. Di tengah maraknya alih fungsi lahan dan tekanan investasi besar, Pansus TRAP muncul sebagai kekuatan politik yang benar-benar berdiri di sisi masyarakat dan pelestarian budaya Bali.

Keberanian Pansus memperketat pengawasan dinilai sebagai langkah tepat untuk menghentikan laju betonisasi yang kian menggerus hamparan sawah, ikon utama Jatiluwih yang membuat dunia menoleh dan UNESCO menetapkannya sebagai Warisan Budaya Dunia.

Langkah Pansus TRAP menjadi simbol bahwa negara tidak tinggal diam ketika ruang hidup warga mulai terancam. Pengawasan yang dilakukan menunjukkan keberpihakan politik yang jelas: melindungi petani, menjaga subak, dan memastikan pembangunan tidak merugikan generasi mendatang.

Pansus TRAP menegaskan bahwa pembangunan harus dijalankan secara benar, bukan semata-mata memenuhi ambisi pihak tertentu.

“Kami hadir supaya warga Jatiluwih tidak tersisih oleh modal besar. Desa ini milik rakyat, bukan untuk diprivatisasi oleh investor,” tegas para anggota Pansus TRAP.

Dalam berbagai kesempatan, Pansus TRAP menekankan bahwa pariwisata Bali hanya akan kuat jika karakter dan budaya desa tetap terjaga. Itulah sebabnya penataan Jatiluwih difokuskan pada penguatan ekonomi warga:

•Rumah penduduk menjadi homestay berstandar dunia

•Restoran desa dikelola masyarakat

•Wisata sawah dikerjakan petani

•Hasil pertanian tetap menjadi identitas utama Jatiluwih

Dengan skema ini, perekonomian desa tumbuh tanpa merusak struktur sosial dan ekologisnya.

Langkah ini dipuji sebagai strategi pembangunan yang berkeadilan, karena memberi ruang yang lebih besar bagi petani dan pelaku UMKM ketimbang investor besar.

Subak bukan hanya sistem irigasi, tetapi fondasi budaya Bali. Pansus TRAP menjadi garda depan dalam memastikan bahwa subak tidak hanya dipamerkan sebagai objek wisata, tetapi benar-benar dijaga sebagai sistem hidup.

Dukungan diberikan secara konkret melalui:

•Pupuk dan benih

•Perbaikan irigasi

•Asuransi pertanian

•Penguatan LSD dan LP2B

•Penataan ruang yang melarang alih fungsi sawah sembarangan


Pendekatan ini menegaskan bahwa Pansus tidak hanya berbicara konsep, tetapi bertindak menjaga warisan adat yang menjadi kebanggaan Bali.

Di tengah derasnya arus komersialisasi, sangat sedikit lembaga politik yang berani mengambil posisi jelas seperti Pansus TRAP DPRD Bali.

Dengan sikap tegas “melindungi dulu sebelum membangun”, Pansus menempatkan Jatiluwih sebagai aset publik yang harus diwariskan kepada anak cucu, bukan sebagai proyek jangka pendek.

Itulah sebabnya langkah Pansus dinilai sebagai bentuk kepemimpinan visioner: pro-kebudayaan, pro-petani, dan pro-masa depan Bali.

Penataan Jatiluwih yang dilakukan Pansus TRAP bukan sekadar tugas administratif, tetapi misi penyelamatan identitas Bali. Dengan pendekatan tegas, terukur, dan berpihak pada rakyat, Pansus TRAP menunjukkan bahwa DPRD bukan hanya lembaga pembuat regulasi, tetapi garda pelindung ruang hidup masyarakat.

Di tengah berbagai tantangan pembangunan, Pansus TRAP hadir sebagai contoh politik yang bekerja, politik yang membela rakyat, dan politik yang menjaga warisan dunia.

Share:

Pansus TRAP DPRD Bali Perketat Pengawasan di Jatiluwih: Jaga Warisan Dunia, Genjot Penataan Tanpa Merusak Sawah

Foto: Pansus TRAP DPRD Bali usulkan solusi konkret ramah lingkungan.

Tabanan (aspirasibali.my.id)

Kawasan Jatiluwih kembali menjadi sorotan. Setelah ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada 2012 dan meraih predikat Desa Terbaik Dunia versi UN Tourism 2024, desa ini kini dipantau ketat oleh Panitia Khusus Tata Ruang dan Aset Pemerintah (Pansus TRAP) DPRD Bali.

Pemicunya jelas: lahan sawah yang menyempit akibat alih fungsi menjadi bangunan beton, sebuah tren yang dianggap mengancam identitas budaya Bali dan menggerus daya tarik utama Jatiluwih—hamparan sawah subak yang menjadi magnet wisatawan mancanegara.

Dalam kunjungan lapangannya, Pansus TRAP menegaskan bahwa pengawasan ini bukan bentuk anti-pembangunan, melainkan langkah penyelamatan ruang hidup, warisan budaya, dan kemandirian ekonomi warga.

“Wisatawan datang untuk melihat hamparan sawah, subak, dan budaya Bali. Bukan beton. Pansus hadir agar masyarakat dapat manfaat ekonomi yang lebih besar dan tetap bangga pada desanya—bukan hanya menjadi penonton,” tegas jajaran Pansus TRAP.

Langkah ini sejalan dengan visi pembangunan Bali yang menempatkan desa sebagai pusat pertumbuhan serta mendorong peningkatan kesejahteraan melalui berbagai program, termasuk Satu Keluarga Satu Sarjana.

Sebagai desa wisata berkelas dunia, Jatiluwih diarahkan memiliki model pengembangan berbasis budaya dan kesejahteraan masyarakat. Pansus TRAP mendorong penataan ulang pemanfaatan ruang dengan konsep yang memberi ruang lebih besar bagi warga sebagai pelaku utama pariwisata.


Dalam konsep penataan yang diusulkan:

•Rumah penduduk akan ditata menjadi homestay berstandar internasional.

•Dibangun restoran khas desa dengan kuliner lokal yang higienis dan bercita rasa Bali.

•Pengelolaan wisata dilakukan oleh masyarakat, bukan didominasi investor besar.

Bahkan, Pansus mendorong paket aktivitas sawah untuk meningkatkan pendapatan petani, seperti:

1. Manyi

2. Metekap

3. Nandur

4. Mandi lumpur

5. Menangkap belut

6. Trekking sawah

7. Piknik di tengah sawah (kubu kandang sapi)

Ruang pertanian organik juga akan dimanfaatkan sebagai jalur wisata edukatif, termasuk coaching clinic pertanian, atraksi membajak sawah dengan sapi, panen massal “spingan”, hingga penyajian kuliner khas petani seperti lawar lindung, klipes goreng, pepes jubel, blauk, dan lainnya.

“Dengan model ini, ekonomi naik, budaya tetap terjaga, dan Jatiluwih tidak kehilangan identitasnya,” ujar Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, Dr (C) Made Supartha, S.H., M.H.

Sebagai penjaga utama bentang alam Jatiluwih, petani mendapat perhatian khusus. Pansus menggarisbawahi sejumlah dukungan konkret:

•Penyediaan benih dan pupuk

•Perbaikan dan penguatan sistem irigasi

•Evaluasi pajak pertanian

•Asuransi pertanian

•Penguatan Subak sebagai sistem sosial-agraris Bali

Semua langkah ini dilakukan agar petani tetap produktif dan tidak tergoda menjual lahan—sebuah dilema yang selama ini menggerus bentang sawah Bali.

Dengan statusnya sebagai Warisan Dunia dan Desa Terbaik Dunia, Jatiluwih bukan hanya milik masyarakat Tabanan, melainkan wajah Bali di mata dunia.

Pansus TRAP menegaskan komitmennya:

•Penataan ruang diperketat

•Pelanggaran akan ditindak tegas

•Masyarakat menjadi pusat ekonomi, bukan korban pembangunan

•Sawah tetap lestari, budaya tetap hidup


“Kami ingin Jatiluwih tetap menjadi ikon dunia. Sawahnya lestari, budayanya hidup, rakyatnya sejahtera,” tutup Pansus TRAP.

Share:

Jumat, 28 November 2025

Menteri ATR/BPN Tegaskan Moratorium Alih Fungsi Lahan di Bali, Yusdi Diaz: Bali Darurat Lahan Hijau, Saatnya Tata Kelola One Island One Management!

Foto: Pengamat pariwisata, Yusdi Diaz.

Denpasar (aspirasibali.my.id)

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid kembali mengeluarkan peringatan keras terkait maraknya alih fungsi lahan sawah di Bali. Peringatan ini disampaikan karena Bali dinilai jauh tertinggal dalam pemenuhan target Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025.

Nusron menegaskan bahwa LP2B atau area sawah mutlak harus mencapai minimal 87 persen dari total Lahan Baku Sawah (LBS). Namun berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali, angkanya baru berada di kisaran 62 persen. Kondisi tersebut membuat Bali masuk dalam kategori rawan alih fungsi lahan, terutama di tengah tekanan pembangunan yang terus meningkat.

“(Alih fungsi lahan) Bali ini salah satu yang berbahaya. Kenapa? Karena Perpres Nomor 12 Tahun 2025 mengatakan bahwa target LP2B itu harus 87 persen dari total LBS. Apa itu LP2B? Itu sawah forever, sawah yang tidak bisa diutak-atik seumur hidup,” ujar Nusron usai Munas Masyarakat Ahli Survei Kadaster Indonesia (Maski) di Sanur, Kota Denpasar, Selasa (25/11), seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Pernyataan tegas Menteri Nusron mendapat respons dari pengamat pariwisata Yusdi Diaz. Ia menyoroti bahwa Bali menghadapi ancaman serius apabila alih fungsi lahan terus dibiarkan. “Ada sebuah pepatah bijak: ketika sawah terakhir kita sudah berubah menjadi gedung dan beton, ketika sumber-sumber pangan kita hilang karena berubah fungsi, saat itulah kita sadar bahwa kita tidak bisa makan uang, secara harfiah,” ujarnya.

Yusdi menilai ketergantungan pada impor pangan adalah kondisi berbahaya. “Alih fungsi lahan kita sudah sangat mengerikan. Kita selama ini berpikir bahwa uang bisa menyelesaikan semuanya, termasuk mengimpor kebutuhan pangan. Tapi saat terjadi krisis pangan, setiap negara akan menahan stoknya. Kalau sudah begitu, kita yang kelabakan,” katanya.

Ia mendorong agar Bali segera menyiapkan lahan pangan baru dan memberlakukan moratorium dengan tegas. “Sudah waktunya kita kembali menyiapkan lahan-lahan baru. Tapi harus dengan bijak: jangan membuka lahan hanya untuk kemudian dikonversi lagi. Moratorium itu sebenarnya sudah saatnya. Kita sebagai pejabat daerah seharusnya malu kalau sampai harus ditegur oleh menteri atau pihak luar,” ujarnya.

“Masa kita tidak sadar bahwa kita sudah kebablasan?” tambahnya.

Menurut Yusdi, pembangunan Bali saat ini telah melewati batas kewajaran. “Pembangunan sudah cukup. Hotel terlalu banyak, sarana-prasarana pendukung juga berlebih. Semua ini menambah jumlah penduduk, sementara daya dukung dan sumber pangan kita justru berkurang,” tegasnya.

Situasi maraknya pelanggaran tata ruang juga kembali memunculkan wacana lama tentang perlunya menerapkan konsep One Island One Management atau satu pulau satu tata kelola, dengan seluruh perizinan ditarik ke tingkat provinsi. Menanggapi hal ini, Yusdi menyatakan bahwa konsep tersebut sangat relevan.

“Itu sebenarnya menjadi salah satu poin jika Bali ingin meminta atau memperjuangkan status sebagai daerah istimewa. Bali Daerah Istimewa, dengan konsep one island one management. Termasuk kewenangan perizinan, penindakan dan lain sebagainya,” ujarnya.

Menurutnya, Bali lebih ideal dikelola secara terpadu. “Pulau kita ini tidak terlalu luas, penduduknya juga tidak terlalu banyak dibandingkan provinsi lain. Maka lebih ideal jika dikelola secara terpadu. Tidak perlu ada daerah yang merasa paling berjasa atau paling dominan,” katanya.

Yusdi mencontohkan Kabupaten Badung yang dikenal sebagai pusat pendapatan Bali. “Misalnya Badung, yang memang punya pendapatan besar. Tetapi pemasukan itu juga tidak lepas dari kontribusi daerah lain. Bangli, misalnya. Kalau Danau Batur bermasalah, dampaknya bukan hanya bagi Bangli, tapi bagi Bali secara keseluruhan,” ungkapnya.

Ia juga menilai Pajak Hotel dan Restoran (PHR) semestinya dikelola satu pintu untuk pemerataan. “PHR juga harus satu tata kelola di provinsi untuk pemerataan pertumbuhan. Kasihan daerah yang selama ini menjadi pemasok pangan namun justru terpinggirkan karena dianggap hanya kawasan pertanian atau perkebunan,” ujarnya.

Yusdi menegaskan bahwa langkah ini menjadi tawaran rasional bagi masa depan tata ruang Bali. “Intinya sama, One Island One Management adalah tawaran yang masuk akal jika Bali serius memperjuangkan status Daerah Istimewa,” pungkasnya.

Share:

Senin, 17 November 2025

Invasi Akomodasi Ilegal Ancam Ketertiban Bali, Tokoh Masyarakat IB Putu Madeg Serukan Penguatan Peran Desa Adat



Foto: Tokoh masyarakat, Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H. (tengah-tengah)

Denpasar (aspirasibali.my.id)

Desa adat sebagai benteng utama pelestarian adat dan budaya Bali kini menghadapi tantangan serius di tengah derasnya pembangunan akomodasi pariwisata ilegal. Masuknya investor tanpa mekanisme kontrol yang jelas membuat pengawasan berbasis kearifan lokal semakin terpinggirkan, sementara visi pembangunan Bali berbasis adat dan budaya dipertanyakan arah keberlanjutannya.

Dalam struktur adat, desa adat memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengatur wilayahnya melalui penetapan zona suci, pelindungan kawasan wewidangan, serta kontrol sosial yang efektif untuk menegur atau menghentikan aktivitas yang melanggar norma adat. Namun, efektivitas pengawasan ini bergantung pada sinergi dengan pemerintah agar pembangunan tidak keluar dari koridor budaya yang menjadi identitas Bali.

Tokoh masyarakat, Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H., menegaskan bahwa desa adat sejak awal merupakan entitas otonom yang memiliki hak penuh mengatur wilayahnya. Ia menjelaskan bahwa dinamika politik dan pemerintahan telah menggeser posisi hukum adat yang sebelumnya menjadi acuan utama masyarakat.

 “Jika dahulu hukum adat menjadi acuan utama dalam kehidupan masyarakat, kini hukum pemerintahlah yang lebih dominan,” ujarnya. 

Padahal, menurutnya, hukum adat adalah pijakan yang ditaati masyarakat dalam urusan agama, sosial, dan tata kehidupan komunal.

Ketua Dewan Penasehat Forum Bela Negara (FBN) Republik Indonesia ini kemudian mengatakan bahwa hukum adat memang harus menyesuaikan perkembangan zaman, namun tidak boleh kehilangan akar tradisinya. Di tengah maraknya pembangunan vila dan akomodasi pariwisata lainnya, desa adat justru sering tidak dilibatkan.

 “Investor kerap masuk dengan dalih memiliki tanah yang akan dibangun, tanpa berkonsultasi dengan prajuru desa adat. Situasi ini berpotensi mengganggu kenyamanan masyarakat,” katanya.

Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H., menekankan pentingnya keterlibatan tiga pihak dalam setiap investasi pariwisata di Bali, yakni investor, pemilik lahan, dan masyarakat desa adat. Tanpa kolaborasi itu, ia mengingatkan bahwa hubungan antara investor dan masyarakat adat dapat terganggu dan memicu kekacauan. Ia menyebutkan beberapa kasus yang pernah terdengar, termasuk di wilayah Ubud, di mana kehadiran tamu atau pendatang yang tidak memahami budaya lokal menimbulkan ketidaknyamanan hingga gesekan sosial.

Menurutnya, persoalan ini tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah maupun dilepas kepada masyarakat pemilik lahan. Ia menilai perlunya koordinasi yang solid di masing-masing wilayah agar desa wisata berkembang secara sinkron. Dengan demikian, desa adat dapat maju bersama, investor dapat menjalankan usaha dengan nyaman, dan masyarakat memperoleh manfaat melalui peluang kerja maupun pemanfaatan lahan yang sebelumnya tidak produktif.

Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H., juga menyoroti pentingnya memperkuat hubungan antara pemerintah pusat, daerah, dan desa adat. Ia menilai Dinas Pariwisata perlu aktif menanamkan pemahaman kepada para pelaku pembangunan tentang pentingnya menghormati hukum adat. Ketidakjelasan kesepakatan sejak awal, katanya, akan menimbulkan persoalan besar ketika bangunan sudah berdiri dan investasi terlanjur dikeluarkan, sehingga penyelesaiannya menjadi rumit.

Ia mengajak seluruh masyarakat Bali untuk menjaga keberlanjutan nilai adat sebagai identitas utama Pulau Dewata.

 “Siapa lagi yang menghargai hukum adat kalau bukan kita masyarakat Bali sendiri. Karena itu, marilah semeton Bali untuk bersama-sama menjaga Bali,” serunya. 

Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H., mengingatkan bahwa tidak semua pendatang datang dengan niat baik, dan sebagian berpotensi menggerus keberadaan desa adat. Tanpa antisipasi yang kuat, ia khawatir budaya dan tradisi Bali yang dikagumi dunia bisa terkikis perlahan.

"Tidak semua pendatang datang dengan niat baik, ada pula yang berpotensi mengurangi keberadaan desa adat. Jika tidak diantisipasi, budaya dan tradisi yang selama ini dikagumi dunia bisa terkikis perlahan," pungkasnya.

Share:

Rabu, 12 November 2025

Panudiana Kuhn: Wisata Berkualitas Harus Dimulai dari Perbaikan Destinasi

Foto: Pengamat pariwisata, Panudiana Kuhn.

Denpasar (aspirasibali.my.id)

Pengamat pariwisata, Panudiana Kuhn, menegaskan bahwa konsep wisata berkualitas tidak bisa hanya diukur dari kemampuan belanja wisatawan. Menurutnya, sebelum menargetkan wisatawan berkualitas, Bali harus terlebih dahulu memperbaiki kualitas destinasi pariwisatanya sendiri.

“Kalau bicara wisata berkualitas, ini masih jadi perdebatan. Banyak yang mengartikan wisatawan berkualitas sebagai wisatawan yang punya pengeluaran tinggi dan menghormati budaya lokal. Tapi menurut kami dari kalangan dunia usaha, sebelum bicara soal kualitas wisatawan, kita harus memperbaiki dulu kualitas destinasi kita sendiri,” ujar Kuhn di Badung.

Ia menjelaskan, wisata berkualitas harus ditopang oleh infrastruktur yang tertata baik, lingkungan yang bersih, keamanan yang terjaga, dan pelayanan publik yang prima. Panudiana Kuhn menilai, layanan bandara, kemacetan lalu lintas, serta persoalan sampah di Bali masih perlu banyak dibenahi. “Kalau itu semua sudah diperbaiki, barulah kita bisa bicara soal wisatawan berkualitas,” tegasnya.

Sebagai contoh, Panudiana Kuhn menyoroti keseriusan Singapura dalam menggarap semua sektor pariwisata, termasuk wisata kesehatan. Negara tersebut mampu menarik hingga 18 juta wisatawan setiap tahun. “Orang rela berobat ke sana, meski biayanya tinggi. Kita sebenarnya juga punya rumah sakit internasional di Sanur, tapi belum banyak yang datang untuk berobat ke sana,” jelasnya.

Menurut Panudiana Kuhn, wisatawan berkualitas adalah mereka yang berpengeluaran tinggi dan menghormati budaya lokal. “Mereka menginap di hotel bintang lima, atau boutique hotel dengan tarif tinggi, bisa Rp10 juta, bahkan Rp50 juta per malam,” ujarnya. Namun, ia menyadari, karakter wisatawan di Bali masih sangat beragam, dari wisatawan kelas atas hingga backpacker dengan anggaran terbatas.

Ia mencontohkan kawasan Nusa Dua yang kini dikenal dengan nama ITDC (dulu BTDC) sebagai kawasan yang berhasil dikelola dengan konsep wisata premium. “Dari awal memang sudah ditata sebagai kawasan eksklusif dengan hotel-hotel bintang lima. Kalau di Singapura, hotel seperti itu tarifnya minimal Rp8,5 juta per malam, sementara di Bali masih jauh lebih murah. Lingkungannya bagus sekali, cocok untuk wisatawan yang benar-benar berkualitas,” ujarnya.

Meski begitu, Panudiana Kuhn menilai keberadaan wisatawan backpacker juga tidak bisa dihindari. “Di semua negara, termasuk Singapura, tetap ada segmen wisatawan murah seperti ini. Mereka juga punya peran tersendiri dalam dinamika pariwisata,” katanya.

Panudiana Kuhn mengakui bahwa penerapan konsep wisata berkualitas secara penuh masih sulit di Bali karena sistem pariwisata nasional yang terbuka untuk semua segmen wisatawan. “Kalau mau meniru negara yang hanya menerima turis tertentu, misalnya yang membayar mahal, itu susah diterapkan di sini. Kita tidak bisa menyeleksi tamu satu per satu. Begitu mereka bayar visa on arrival dan punya tiket pulang, mereka bisa langsung masuk,” ujarnya.

Ia menambahkan, jika sistem seleksi diperketat dengan menutup VOA, risikonya justru wisatawan enggan datang. “Negara pesaing kita banyak yang memberikan VOA gratis. Jadi kita harus berhati-hati dalam membuat kebijakan seperti itu,” imbuhnya.

Terkait kebijakan tourist levy atau Pungutan Wisatawan Asing (PWA) di Bali, Panudiana Kuhn menyebut gagasan tersebut sangat baik, namun pelaksanaannya perlu dievaluasi agar lebih efektif. “Targetnya bisa sampai Rp1 triliun, tapi realisasinya baru sekitar 36 persen. Salah satunya karena lokasi konternya di bandara kurang strategis, ada di bawah, setelah proses imigrasi dan bea cukai. Harusnya satu jalur dengan pembayaran VOA, biar turis bisa langsung bayar bersamaan,” ungkapnya.

Ia menambahkan, sistem pengelolaan dana PWA juga perlu dibuat lebih efisien. “Dulu sistemnya lewat BRI, dan katanya uang itu harus mengendap dulu enam bulan sebelum bisa digunakan. Tapi kalau uang Rp1 triliun mengendap enam bulan, kan lumayan juga bunganya. Jadi sebenarnya bisa diatur lebih efisien,” katanya.

Dalam konteks regional, Panudiana Kuhn menyoroti posisi Indonesia yang masih tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lainnya dalam jumlah kunjungan wisatawan. “Sekarang Malaysia paling banyak kunjungan turisnya, sampai Oktober sudah 28 juta. Thailand tahun lalu mencapai 35 juta wisatawan. Singapura dan Vietnam juga tinggi, bahkan Vietnam sudah menyalip Indonesia,” ujarnya.

Sementara Indonesia baru mencatat sekitar 16 juta wisatawan, dan Bali sendiri menargetkan 6,5 hingga 7 juta wisatawan per tahun. “Masih perlu banyak pembenahan kalau mau mencapai kualitas dan jumlah wisatawan seperti negara tetangga,” ujarnya menegaskan.

Panudiana Kuhn kemudian menilai bahwa semua segmen wisatawan tetap penting bagi Bali, namun fokus pengembangan tetap harus diarahkan pada wisatawan yang menghargai budaya lokal dan memiliki kontribusi ekonomi yang besar. “Wisatawan berkualitas itu mereka yang tinggal di hotel bintang lima atau boutique hotel, pengusaha, selebritas, atau pejabat yang menghargai budaya Bali. Mereka ini biasanya juga menggunakan layanan premium seperti mobil Alphard dan punya kesadaran budaya tinggi,” katanya.

“Sedangkan wisatawan backpacker kebanyakan mahasiswa atau akademisi dengan anggaran terbatas. Jumlah mereka banyak, tapi kontribusinya tidak sebesar wisatawan kelas atas. Karena itu, impian untuk menjadikan Bali sebagai destinasi wisata berkualitas tetap perlu didukung dengan perbaikan infrastruktur, layanan, dan kebijakan yang tepat,” pungkas Panudiana Kuhn.

Share:

Sabtu, 08 November 2025

Pengamat Pariwisata Yusdi Diaz Sebut Overtourism di Bali Lebih ke Masalah Sebaran dan Overpopulasi, Bukan Jumlah Wisatawan

Foto: Pengamat pariwisata Yusdi Diaz.

Denpasar (aspirasibali.my.id)

Pengamat pariwisata Yusdi Diaz menilai persoalan yang dihadapi Bali saat ini bukan semata-mata soal overtourism atau kelebihan jumlah wisatawan, melainkan ketimpangan sebaran wisatawan dan meningkatnya populasi pendatang yang bekerja di sektor pariwisata. Ia menekankan perlunya penataan tata ruang yang tegas dan penerapan daya dukung (carrying capacity) agar pertumbuhan pariwisata tetap terkendali.

“Segala sesuatu yang berlebihan itu kesannya tidak baik. Overtourism, over booking, semuanya menunjukkan sesuatu yang tidak tertata dengan baik. Jadi sebelum kita bicara soal overtourism, kita harus tahu dulu berapa kapasitas Bali, berapa daya tampung wisatanya,” ujar Yusdi.

Menurutnya, persoalan utama yang muncul dari gejala overtourism bukan hanya karena banyaknya wisatawan, tetapi juga karena populasi pekerja sektor pariwisata yang terus bertambah. “Jadi bukan hanya tamu, tapi juga tenaga kerja yang datang ke Bali. Dari dulu sebenarnya sudah sering disampaikan bahwa kita harus menghitung carrying capacity-nya Bali. Kalau sudah tahu kapasitasnya, ya terapkan,” jelasnya.

Yusdi menambahkan, persoalan ini erat kaitannya dengan ketidaktegasan dalam penerapan tata ruang. Ia menyoroti bahwa pembangunan hotel, vila, dan tempat peristirahatan baru seharusnya dibatasi sesuai zonasi. “Kalau kita sudah punya tata ruang, ya dijaga. Jangan diubah-ubah lagi dengan berbagai alasan. Kadang demi peningkatan PAD, kita biarkan pembangunan tumbuh tanpa kendali,” tegasnya.

Lebih lanjut, Yusdi menyebut bahwa kondisi Bali saat ini sebenarnya belum bisa dikatakan mengalami overtourism, karena jumlah wisatawan masih di bawah masa sebelum pandemi. Namun, yang menjadi persoalan adalah sebaran wisatawan yang tidak merata antarwilayah.

“Menurut saya sebaran wisatawannya yang tidak merata. Kalau dilihat dari jumlah, angka kunjungan wisatawan kita sekarang masih di bawah sebelum pandemi. Yang berubah itu karakter tamunya. Sekarang lebih banyak tamu yang long stay, tapi spending-nya rendah,” katanya.

Ia menjelaskan, wisatawan yang tinggal lama banyak terkonsentrasi di kawasan seperti Canggu dan Berawa, namun dengan tingkat pengeluaran yang rendah. “Dulu, wisatawan banyak yang short stay tapi belanjanya besar. Sekarang banyak tamu yang tinggal lama, tapi cenderung lebih hemat,” ujarnya.

Dampak dari perubahan ini mulai terasa di sejumlah destinasi seperti Ubud, yang kini dinilai terlalu padat dan kehilangan kenyamanan. “Dulunya kan tenang dan nyaman, sekarang sangat ramai. Keramaian ini bukan hanya karena wisatawan, tapi juga karena pekerja yang menumpuk di sana, ditambah pembangunan akomodasi dan restoran yang berlebihan,” jelas Yusdi.

Ia menekankan perlunya limitasi dan pengawasan ketat terhadap pembangunan, terutama demi menjaga kelestarian budaya dan lingkungan. “Yang paling terasa itu degradasi budaya dan kerusakan lingkungan. Banyak area di tepi sungai dibeton demi keindahan, tapi kemudian menyebabkan banjir karena jalur air tertutup,” tuturnya.

Menurut Yusdi, permasalahan lainnya adalah ketimpangan jenis wisatawan yang datang. Saat ini, banyak muncul komunitas global seperti digital nomad atau global citizen yang berpusat di kawasan tertentu seperti Canggu. “Mereka hidup dari aktivitas online, pagi surfing, siang kerja di internet, begitu seterusnya,” katanya.

Sementara itu, wisatawan berkelas atas atau high-end yang datang ke kawasan seperti Uluwatu atau Mayong justru memberikan kontribusi ekonomi lebih besar. Namun, Yusdi menilai kedua segmen ini sama-sama penting bagi perekonomian Bali.

“Kalau kita terlalu banyak membatasi, UMKM kita bisa terdampak. Karena justru wisatawan seperti di Canggu dan Berawa inilah yang banyak menyerap produk UMKM lokal. Sedangkan tamu high-end, uangnya besar tapi sering kali tidak tinggal lama dan perputaran uangnya tidak terjadi di tingkat lokal,” ujarnya.

Karena itu, Yusdi menekankan perlunya kebijakan yang mampu menyeimbangkan antara kualitas wisatawan, pemerataan sebaran, dan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.

Selain sebaran wisatawan, Yusdi juga menyoroti fenomena overpopulasi akibat banyaknya pendatang yang ingin mengadu nasib di sektor pariwisata. “Bukan cuma wisatawan yang datang, tapi juga banyak orang dari luar yang datang untuk bekerja atau berusaha. Kalau wisatawan datang dan membawa uang, tentu bagus. Tapi persoalannya, populasi yang meningkat ini tidak terkontrol,” jelasnya.

Banyaknya orang yang tergiur oleh “gula-gula pariwisata” membuat sejumlah kawasan menjadi padat dan kumuh. “Mereka menumpuk di satu wilayah tanpa perencanaan yang baik. Akibatnya, muncul persoalan seperti lingkungan menjadi kumuh, sampah menumpuk, dan sebagainya,” ujarnya.

Menurutnya, Bali sudah memiliki banyak regulasi yang baik, namun penegakan hukumnya (enforcement) masih lemah. “Kita punya aturan yang bagus, sudah dipikirkan matang. Tapi penegakannya lemah. Jangan sampai penegakan hukum hanya berhenti di negosiasi, misalnya, mau ditindak atau tidak tergantung kesepakatan. Kalau memang melanggar, ya harus ditindak tegas,” tegasnya.

Yusdi menutup dengan menekankan pentingnya kenyamanan sosial dan keseimbangan pembangunan. “Yang paling penting, bagaimana kita bisa menciptakan lingkungan sosial yang nyaman dan tertata, agar semua orang yang hidup di Bali, baik penduduk lokal maupun pendatang, bisa hidup dengan layak tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan budaya,” pungkasnya.

Share:

Rabu, 29 Oktober 2025

SDM Bali Masih Jadi Incaran Industri Kapal Pesiar Dunia, Dewa Mahendra: Etos Kerja dan Profesionalitas Jadi Daya Tarik Utama


Foto: Direktur PT Inti Gema Nusantara (Cast-A-Way) Indonesia, I Dewa Gde Mahendra Data.

Denpasar (AspirasiBali)

Sumber daya manusia (SDM) asal Bali kembali menunjukkan daya saing tinggi di kancah global. Hal ini terlihat dari tingginya minat perusahaan kapal pesiar internasional, termasuk Royal Caribbean Group, terhadap tenaga kerja asal Pulau Dewata. Reputasi SDM Bali yang dikenal beretika, disiplin, dan memiliki etos kerja kuat menjadikan mereka salah satu pilihan utama bagi perusahaan global di industri hospitality dan pariwisata dunia.

Salah satu bukti nyata tingginya kepercayaan tersebut tampak dalam kegiatan final interview yang digelar PT Inti Gema Nusantara (Cast-A-Way) Indonesia bekerja sama dengan Royal Caribbean Group, pada 29–30 Oktober di Grand Palace Sanur, Denpasar. Sebanyak 500 calon tenaga kerja mengikuti seleksi akhir yang menentukan langkah mereka menuju karier di kapal pesiar internasional.

Direktur PT Inti Gema Nusantara (Cast-A-Way) Indonesia, I Dewa Gde Mahendra Data, menegaskan bahwa minat perusahaan asing terhadap SDM Bali tidak terlepas dari kemampuan dan mentalitas kerja yang sudah teruji.

 “Benar sekali, hampir seluruh perusahaan luar negeri sangat antusias mempekerjakan tenaga kerja dari Bali. SDM Bali sudah berpengalaman, khususnya di sektor hospitality. Bali dikenal sebagai destinasi wisata kelas dunia, sehingga masyarakatnya memiliki kemampuan dan etos kerja yang diakui secara internasional,” ungkap Dewa Mahendra.

Ia menjelaskan, sebagai agensi resmi mitra Royal Caribbean Group, PT Inti Gema Nusantara berkomitmen menjaga kualitas rekrutmen agar para kandidat dari Bali dan Indonesia mampu memenuhi standar kerja internasional.

“Tujuan kami sebagai agensi adalah menjaga standar kualitas dari para kandidat. Khususnya bagi generasi muda Bali, kami menerapkan standarisasi yang ketat, baik dari sisi kualifikasi, pengalaman, maupun pengetahuan. Semua itu harus sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pihak Royal Caribbean,” katanya.

Lebih lanjut, Dewa Mahendra berharap agar para peserta yang lolos seleksi dapat mempertahankan integritas dan profesionalitas saat bekerja di kapal pesiar.

 “Besar harapan kami, semoga generasi muda Bali dan Indonesia bisa menjaga kualitas di tempat bekerja dan membawa nama Indonesia dan Bali ke kancah internasional,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen PT Inti Gema Nusantara untuk terus membuka akses kerja berkualitas bagi generasi muda yang ingin meniti karier global.

Sementara itu, Suardi, Executive Housekeeper Royal Caribbean Group yang telah berkarier selama 26 tahun, turut hadir dalam sesi wawancara akhir. Ia mengapresiasi profesionalitas PT Inti Gema Nusantara serta semangat para kandidat yang mengikuti seleksi.

 “Saya berharap semua peserta bisa tampil maksimal pada interview hari ini. Jika mereka sudah melalui proses seleksi awal dari agensi, saya 100% yakin mereka bisa lolos. Kali ini, saya melihat semangat mereka luar biasa tinggi untuk bisa bekerja di kapal pesiar,” ujarnya.

Menurutnya, kerja keras dan kepercayaan diri menjadi kunci utama untuk sukses di dunia kerja internasional.

“Kepercayaan diri, confidence, itu yang paling penting. Bekerja di kapal pesiar membutuhkan mental yang kuat dan kesiapan penuh. Di sana kerja keras adalah kunci. Kalau mentalnya lemah, sulit untuk bertahan,” tutur Suardi.

Ia menambahkan, mentalitas dan profesionalitas menjadi faktor utama yang membedakan pekerja sukses di kapal pesiar.

“Di kapal pesiar, setiap pekerja akan menjalani masa probation selama tiga bulan. Dalam masa itu, manajemen akan menilai kemampuan, etika kerja, dan kesesuaian mereka dengan lingkungan kapal. Jadi, siapa pun yang ingin sukses harus siap mental, disiplin, dan bersemangat tinggi,” pungkasnya.

Kegiatan final interview ini tidak hanya membuka peluang kerja, tetapi juga menjadi simbol kuatnya kepercayaan dunia terhadap SDM Bali. Dengan etos kerja yang tinggi, profesionalitas, dan semangat untuk maju, tenaga kerja Bali terus menjadi andalan industri kapal pesiar internasional, mengharumkan nama Indonesia di kancah global.

Share:

PT Inti Gema Nusantara (Cast-A-Way) Indonesia Gelar Final Interview Bersama Royal Caribbean Group: Wujudkan Mimpi Anak Muda Berkarier di Kapal Pesiar!

Foto: Suasana final interview calon tenaga kerja pesiar yang digelar oleh PT Inti Gema Nusantara (Cast-A-Way) Indonesia bersama Royal Caribbean Group, di Grand Palace Hotel, Sanur Denpasar, Rabu 29 Oktober 2025.

Denpasar (AspirasiBali)

Ratusan calon tenaga kerja asal Bali dan berbagai daerah mengikuti final interview bersama perusahaan kapal pesiar ternama dunia, Royal Caribbean Group. Kegiatan ini digelar oleh PT Inti Gema Nusantara (Cast-A-Way) Indonesia, yang menjadi mitra resmi Royal Caribbean dalam proses rekrutmen tenaga kerja, dan berlangsung selama dua hari, 29–30 Oktober, di Grand Palace Sanur, Denpasar.

Sedikitnya 500 calon pekerja berpartisipasi dalam tahap akhir seleksi ini. Mereka diwawancarai langsung oleh tim Royal Caribbean Group untuk menentukan kandidat terbaik yang siap berkarier di industri kapal pesiar internasional.

Direktur PT Inti Gema Nusantara (Cast-A-Way) Indonesia, I Dewa Gde Mahendra Data, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk nyata komitmen perusahaan dalam membuka peluang kerja berkualitas bagi generasi muda Indonesia.

“Hari ini PT Inti Gema Nusantara (Cast-A-Way) Indonesia mengadakan final interview dengan salah satu klien kami, Royal Caribbean Group. Harapan besar kami, terutama bagi generasi muda di Bali dan Indonesia pada umumnya, adalah agar mereka bisa mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik dan berkualitas,” ujar Dewa Mahendra.

Ia menegaskan bahwa pihaknya terus menjaga standar rekrutmen yang ketat untuk memastikan kualitas para kandidat sesuai dengan kriteria perusahaan kapal pesiar dunia.

 “Tujuan kami sebagai agensi adalah menjaga standar kualitas dari para kandidat. Khususnya bagi generasi muda Bali, kami menerapkan standarisasi yang ketat, baik dari sisi kualifikasi, pengalaman, maupun pengetahuan. Semua itu harus sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pihak Royal Caribbean,” lanjutnya.

Dewa Mahendra juga mengungkapkan bahwa minat perusahaan internasional terhadap tenaga kerja asal Bali masih sangat tinggi. Hal ini tak lepas dari reputasi SDM Bali yang telah diakui dunia dalam industri pariwisata dan hospitality.

“Benar sekali, hampir seluruh perusahaan luar negeri sangat antusias mempekerjakan tenaga kerja dari Bali. SDM Bali sudah berpengalaman, khususnya di sektor hospitality. Bali dikenal sebagai destinasi wisata kelas dunia, sehingga masyarakatnya memiliki kemampuan dan etos kerja yang diakui secara internasional,” katanya.

Ia berharap agar para peserta yang lolos nantinya dapat menjaga kualitas kerja dan membawa nama baik Indonesia di kancah global.

“Besar harapan kami, semoga generasi muda Bali dan Indonesia bisa menjaga kualitas di tempat bekerja dan membawa nama Indonesia dan Bali ke kancah internasional,” tutupnya.

Sementara itu, Suardi, Executive Housekeeper Royal Caribbean Group yang telah berkarier selama 26 tahun di perusahaan tersebut, turut hadir sebagai panelis dalam sesi wawancara. Ia mengapresiasi semangat dan kesiapan para peserta yang mengikuti seleksi.

“Saya berharap semua peserta bisa tampil maksimal pada interview hari ini. Jika mereka sudah melalui proses seleksi awal dari agensi, saya 100% yakin mereka bisa lolos. Kali ini, saya melihat semangat mereka luar biasa tinggi untuk bisa bekerja di kapal pesiar,” ujarnya.

Menurut Suardi, kerja sama dengan agensi profesional seperti PT Inti Gema Nusantara (Cast-A-Way) Indonesia membuat proses rekrutmen berjalan transparan dan berkualitas.

“Kami bekerja sama dengan agensi ternama dan terpercaya di Bali. Dengan begitu, proses rekrutmen berjalan profesional dan transparan. Kualitas para kandidat yang direkomendasikan juga sudah sesuai dengan standar perusahaan,” katanya.

Sebagai seorang yang telah meniti karier selama lebih dari dua dekade di Royal Caribbean, Suardi juga berbagi pengalaman dan pesan penting bagi para calon pekerja muda.

“Kepercayaan diri, confidence, itu yang paling penting. Bekerja di kapal pesiar membutuhkan mental yang kuat dan kesiapan penuh. Di sana kerja keras adalah kunci. Kalau mentalnya lemah, sulit untuk bertahan,” jelasnya.

Ia menambahkan, semua keberhasilannya hingga mencapai posisi penting di perusahaan berawal dari mental kuat dan kerja keras tanpa henti.

“Saya sudah bekerja di Royal Caribbean selama 26 tahun. Semua itu bisa saya capai berkat kepercayaan diri dan kerja keras. Alhamdulillah, sekarang saya sudah dipercaya memegang posisi penting di perusahaan,” ungkapnya.

Suardi juga menekankan pentingnya disiplin dan profesionalitas sebagai modal utama untuk bertahan di dunia kerja kapal pesiar.

“Kalau kalian punya mimpi bekerja di kapal pesiar, wujudkan dengan kerja keras. Buktikan bahwa kalian layak berada di sana. Di kapal, tidak ada yang instan, semua dinilai dari dedikasi dan profesionalitas,” ujarnya.

Menurutnya, mentalitas dan semangat kerja merupakan faktor utama yang menentukan kesuksesan.

 “Betul, mentalitas dan semangat itu nomor satu. Di kapal pesiar, setiap pekerja akan menjalani masa probation selama tiga bulan. Dalam masa itu, manajemen akan menilai kemampuan, etika kerja, dan kesesuaian mereka dengan lingkungan kapal. Jadi, siapa pun yang ingin sukses harus siap mental, disiplin, dan bersemangat tinggi,” pungkasnya.

Kegiatan final interview ini diharapkan dapat menjadi momentum penting bagi generasi muda Bali untuk menembus dunia kerja internasional. Selain membuka peluang karier, ajang ini juga menjadi bentuk nyata kontribusi sektor ketenagakerjaan Bali dalam memperkuat citra profesionalisme SDM Indonesia di mata dunia.

Share:

Jumat, 24 Oktober 2025

Bali Penyumbang Devisa Pariwisata Terbesar, DPR RI Desak Pemerintah Pusat Beri Perlakuan Khusus

Foto: Ilustrasi 

Denpasar

Tim Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI melakukan kunjungan kerja ke Bali dan bertemu Gubernur Bali, Wayan Koster, di Gedung Sabha Jayasabha, Denpasar, Kamis (23/10/2025). Pertemuan ini menyoroti peran strategis Bali sebagai ujung tombak diplomasi Indonesia dan penyumbang devisa pariwisata nasional terbesar, mencapai lebih dari 53 persen dari total devisa sektor pariwisata.

Dalam pertemuan tersebut, anggota DPR RI dari BKSAP, Mardani Ali Sera dan Irene Yosiana, menegaskan pentingnya perhatian khusus dari Pemerintah Pusat terhadap Bali. Mereka menilai, besarnya kontribusi Pulau Dewata terhadap ekonomi nasional harus diimbangi dengan kebijakan afirmatif, terutama dalam hal alokasi anggaran dan regulasi yang berpihak pada pelestarian budaya serta perlindungan lingkungan.

“Bali memiliki peran luar biasa dalam mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Karena itu, sudah sepantasnya pemerintah pusat memberikan perhatian dan perlakuan khusus agar keberlanjutan pariwisata di Bali tetap terjaga,” ujar Mardani Ali Sera.

Sementara itu, Gubernur Wayan Koster menegaskan bahwa Bali membutuhkan “timbal balik yang sepadan” dari pemerintah pusat. Ia menyoroti kondisi infrastruktur di sejumlah daerah wisata yang masih tertinggal, meskipun Bali telah memberikan kontribusi besar terhadap devisa nasional.

“Devisa pariwisata yang disumbangkan Bali sangat besar, namun dukungan infrastruktur dari pusat belum sebanding. Kami berharap ada kebijakan yang lebih berpihak agar pembangunan Bali dapat berlangsung secara berkelanjutan,” tegas Koster.

Koster juga menekankan bahwa arah pembangunan Bali harus berlandaskan pada tiga pilar utama, yaitu Alam, Manusia, dan Budaya. Menurutnya, budaya adalah hulu dari segala aktivitas ekonomi dan sosial di Bali, sementara pariwisata merupakan hilir yang mengalir dari kekayaan budaya tersebut.

“Budaya adalah sumber utama kekuatan Bali. Pariwisata seharusnya menjadi hasil dari keindahan dan kearifan budaya itu, bukan sebaliknya,” ujarnya.

Pertemuan ini menghasilkan kesepahaman bersama bahwa pembangunan pariwisata Bali harus sustainable dan berpihak pada kesejahteraan rakyat. DPR RI berkomitmen mendorong pemerintah pusat agar memberikan perhatian khusus bagi Bali, baik melalui kebijakan, anggaran, maupun dukungan infrastruktur, agar Pulau Dewata tidak tertinggal dalam persaingan pariwisata global meskipun memiliki “khasiat” besar bagi perekonomian nasional.

Share:

Senin, 13 Oktober 2025

Phu Quoc Geser Bali Sebagai Pulau Terindah, Saatnya Bali Kembalikan Marwah Pariwisata yang Aman, Bermartabat dan Berbasis Budaya

Bali

Foto: Istimewa 

Badung

Pulau Phu Quoc di Vietnam resmi menggeser dominasi Bali sebagai pulau terindah di Asia versi Condé Nast Traveler tahun 2025. Untuk pertama kalinya, destinasi terbesar di Vietnam itu menduduki posisi puncak dalam penghargaan bergengsi Readers’ Choice Awards yang berdasarkan hasil jajak pendapat pembaca majalah asal Amerika Serikat tersebut.

Phu Quoc meraih skor 95,51 poin, naik tipis 0,15 poin dari tahun sebelumnya. Di bawahnya, Pulau Langkawi di Malaysia menempati posisi kedua, disusul Koh Samui dari Thailand di peringkat ketiga. Dua pulau di Filipina, Boracay dan Palawan, juga berhasil menyalip Bali yang tahun lalu menjadi juara, hingga kini turun ke posisi keenam.

Prestasi gemilang Phu Quoc disebut menjadi simbol kebangkitan pariwisata Vietnam. Pulau ini kini menjadi sorotan internasional berkat pesona alam tropisnya yang memikat serta pengelolaan pariwisata yang dinilai tertata dengan baik.

Menanggapi hasil tersebut, Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Bali, IGN Rai Suryawijaya, menilai perlunya evaluasi mendalam terhadap kualitas pengelolaan destinasi di Pulau Dewata. Menurutnya, faktor keamanan dan kebersihan merupakan kunci utama dalam menjaga reputasi pariwisata Bali di mata dunia.

 “Tahun 2025 ini adalah tahun berbenah. Kita harus bisa kembali merebut predikat the best tourism destination island in the world. Mudah-mudahan kita bisa kembali ke nomor satu. Saat ini kita berada di nomor tiga dunia, dikalahkan oleh Dubai, dan di ASEAN kita kalah dengan Vietnam,” ujarnya.

Ia juga mengakui bahwa Vietnam telah menunjukkan kemajuan luar biasa dalam tata kelola pariwisata. 

“Vietnam sangat bagus penataannya. Stakeholder-nya bersatu, semuanya merasa aman dan nyaman. Investor pun banyak lari ke Vietnam dan Dubai karena merasa aman dan nyaman. Itu yang sangat dibutuhkan,” tambahnya.

Rai Suryawijaya menegaskan, Bali perlu mengembalikan “marwah” pariwisatanya agar tetap menjadi destinasi unggulan dunia.

“Bali itu harus dikembalikan. Bali itu bersih, aman, lestari, dan indah. Itu harus menjadi komitmen kita, bukan sekadar wacana,” tegasnya.

Ia pun mengapresiasi langkah Pemerintah Provinsi Bali yang berkomitmen membangun pariwisata berbasis budaya, berkualitas, dan bermartabat. Namun, menurutnya, implementasi di lapangan masih menjadi tantangan besar yang memerlukan kerja sama semua pihak.

“Pemerintah sudah mencanangkan pariwisata berbasis budaya, berkualitas, dan bermartabat. Itu mudah diucapkan, namun untuk eksekusi di lapangan sangat sulit dan perlu kolaborasi seluruh stakeholder yang ada,” tutupnya.

Dengan momentum ini, Bali diharapkan mampu melakukan pembenahan menyeluruh untuk mengembalikan citra sebagai destinasi wisata terbaik di Asia, bahkan dunia, bukan hanya melalui keindahan alamnya, tetapi juga lewat kenyamanan, kebersihan, dan rasa aman yang dirasakan wisatawan.

Share:

Rabu, 08 Oktober 2025

Alih Fungsi Lahan di Bali Kian Masif, Puspanegara Desak Pengawasan dan Penegakan Hukum Diperkuat

Foto: Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Badung yang juga Ketua Fraksi Gerindra, I Wayan Puspanegara, SP., M.Si.

Badung 

Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Badung yang juga Ketua Fraksi Gerindra, I Wayan Puspanegara, SP., M.Si., menyoroti semakin masifnya alih fungsi lahan di Bali yang kini dinilai sudah berada pada tingkat mengkhawatirkan. Ia menegaskan, kondisi ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam tata kelola ruang yang belum tertangani dengan baik.

“Kita melihat bersama bahwa alih fungsi lahan di Bali saat ini terjadi begitu masif. Pemerintah tampaknya kesulitan menahan lajunya. Hal ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam tata kelola ruang kita,” ujar Puspanegara.

Menurutnya, penyebab utama maraknya alih fungsi lahan adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak terkendali. Dorongan pembangunan datang tidak hanya dari sektor pariwisata, tetapi juga dari meningkatnya kebutuhan tempat tinggal seiring pertumbuhan penduduk. Akibatnya, pengaplingan lahan secara besar-besaran untuk pembangunan perumahan terjadi hampir di setiap wilayah.

Selain itu, pembangunan untuk kepentingan pariwisata juga kerap melanggar ketentuan tata ruang yang berlaku. Banyak pihak mendirikan akomodasi dan fasilitas pendukung hanya karena mengikuti tren tanpa memperhatikan status lahannya. “Banyak orang membangun hanya karena melihat tetangganya juga membangun. Padahal, sebagian kawasan itu termasuk dalam kategori lahan sawah dilindungi (LSD) atau lahan pertanian produktif berkelanjutan (LP2B). Tak jarang lahan-lahan tersebut berubah fungsi menjadi area wisata atau tempat usaha,” ungkapnya.

Puspanegara menilai, akar masalah sesungguhnya terletak pada lemahnya supervisi dan penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang. “Alih fungsi lahan yang masif terjadi karena lemahnya pengawasan dan penegakan aturan. Banyak orang berpikir, ‘di sebelah boleh membangun, kenapa saya tidak?’ Padahal mungkin lahannya termasuk kawasan hijau, LSD, atau LP2B,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa meski pemilik tanah memiliki hak keperdataan untuk memanfaatkan lahannya, hak tersebut tidak boleh dijalankan tanpa memperhatikan aturan tata ruang yang telah ditetapkan. “Pemerintah perlu membuat kebijakan yang adil agar kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan bisa seimbang,” katanya.

Lebih lanjut, Puspanegara menekankan bahwa sebenarnya Bali sudah memiliki perangkat hukum yang cukup jelas untuk mengatur tata ruang. Mulai dari RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) di tingkat provinsi, RTRK di tingkat kabupaten, hingga RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) sebagai turunannya. Semua dokumen tersebut telah menentukan zona mana yang boleh dibangun dan mana yang wajib dilindungi, termasuk kawasan LSD, LP2B, jalur hijau, konservasi, dan area rawan bencana seperti jurang.

“Masalahnya bukan pada aturan, tetapi pada pelaksanaannya. Di sinilah kita perlu memperkuat dua hal penting: supervisi dan penegakan hukum terhadap tata ruang kita,” tutupnya.


Share:

Selasa, 07 Oktober 2025

Menpar Sebut Penglipuran Adalah Laboratorium Hidup Pariwisata Berkelanjutan


Foto: Istimewa

Bangli

Desa Penglipuran di Kabupaten Bangli tak lagi sekadar etalase desa wisata Bali. Kini, desa yang dikenal karena kebersihan dan keteraturan tata ruangnya itu melangkah lebih jauh dengan menerapkan konsep pariwisata regeneratif, sebuah pendekatan yang tak hanya menjaga alam dan budaya, tapi juga memperbaikinya bagi generasi mendatang.

Menteri Pariwisata Republik Indonesia, Widiyanti Putri Wardhani, menyebut Penglipuran sebagai “laboratorium hidup pariwisata berkelanjutan Indonesia.” Predikat itu bukan tanpa alasan. Desa ini memadukan filosofi konservasi dan kesejahteraan secara nyata di lapangan.

Ciri khas Penglipuran tampak dari tata ruangnya yang simetris, kebersihan yang nyaris sempurna, dan hutan bambu seluas 75 hektare yang dikelola mandiri oleh warga. Hutan itu menjadi sumber kehidupan: menjaga keseimbangan ekologi sekaligus mendatangkan ribuan wisatawan tiap bulan.

Dari sinilah lahir gagasan baru: konservasi tak harus mengorbankan ekonomi. Di Penglipuran, menjaga alam berarti menumbuhkan kesejahteraan.

“Penglipuran berhasil menjaga harmoni antara alam, budaya, dan ekonomi. Inilah arah baru pariwisata Indonesia,” ujar Widiyanti dalam kunjungan kerja, Selasa, 30 September 2025.

Di jantung desa berdiri Pasar Penglipuran, pusat ekonomi yang sepenuhnya dikelola masyarakat. Di sana, wisatawan dapat menemukan kerajinan bambu, kuliner tradisional, hingga kain khas Bali yang dijual langsung oleh warga. Tak ada investor besar, tak ada rantai distribusi panjang. Semua keuntungan kembali ke desa, membentuk ekonomi sirkular berbasis komunitas.

“Bagi kami, yang penting bukan sekadar ramai dikunjungi, tapi lestari. Kami ingin desa ini tetap hidup dan menjadi inspirasi,” kata Wayan Sumiarsa, pengelola Desa Penglipuran.

Selain panorama dan kearifan lokal, Penglipuran menawarkan pengalaman budaya yang interaktif. Wisatawan dapat belajar membuat canang sari, melukis di atas bambu, atau mencicipi Loloh Cemcem dan Kelopon Ketela Ungu, dua kuliner khas yang kini digemari turis mancanegara.

Pariwisata di Penglipuran bukan sekadar hiburan, tapi juga ruang pembelajaran tentang filosofi keseimbangan hidup Bali: palemahan, pawongan, dan parahyangan.

Penglipuran kini menjadi contoh konkret bahwa pariwisata tidak harus eksploitatif. Dengan menggabungkan prinsip ekologis, budaya, dan ekonomi lokal, desa ini membalikkan paradigma lama, dari industri yang menghabiskan menjadi industri yang membangun kembali.

Bagi banyak pihak, Penglipuran bukan hanya destinasi, tapi simbol kebangkitan cara berpikir baru dalam pariwisata Indonesia: bahwa keberlanjutan sejati hanya bisa lahir dari kemandirian dan kesadaran kolektif warga.

Share:

Senin, 06 Oktober 2025

Niluh Djelantik Soroti Maraknya Akomodasi Ilegal di Bali: “Bali Bagai Ibu yang Tercampakkan”



Foto: Senator DPD RI Dapil Bali, Niluh Djelantik.

Denpasar

Temuan Kementerian Pariwisata terkait ribuan akomodasi wisata tanpa legalitas di Bali kembali memicu sorotan tajam terhadap lemahnya pengawasan sektor pariwisata di daerah ini. Salah satu yang paling vokal menanggapi persoalan tersebut adalah Senator DPD RI Dapil Bali, yang juga aktivis dan pengusaha fesyen, Niluh Djelantik.

Sebelumnya, Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenpar, Rizki Handayani, mengungkapkan masih banyak usaha akomodasi di Bali yang beroperasi tanpa izin resmi. “Hal ini memicu persaingan usaha tidak sehat, menurunkan kualitas layanan wisatawan, sekaligus menimbulkan risiko hukum dan keamanan,” ujar Rizki, Sabtu (4/10).

Kemenpar mencatat sedikitnya 2.612 unit akomodasi nonresmi atau ilegal telah teridentifikasi di Bali. Pemerintah daerah kini tengah melakukan klarifikasi dan verifikasi terhadap unit-unit tersebut untuk memastikan legalitasnya. Rizki menegaskan, ke depan seluruh akomodasi yang terdaftar di Online Travel Agent (OTA) wajib memiliki izin resmi melalui sistem Online Single Submission (OSS).

“Legalitas usaha harus jelas agar seluruh pihak terlindungi,” ujarnya. Pemerintah pusat pun akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menyusun regulasi yang lebih ketat mengenai perizinan akomodasi wisata, disertai pendampingan melalui coaching clinic OSS.

Namun, di tengah upaya pembenahan tersebut, Niluh Djelantik menumpahkan keprihatinannya melalui unggahan di media sosial. Dengan nada emosional, ia menulis, “BALI BAGAI IBU YANG TERCAMPAKKAN.”

Menurut Niluh Djelantik, di daerah lain, kolaborasi antara eksekutif dan legislatif berjalan harmonis demi kemajuan daerah. Tetapi di Bali, ujar dia, dirinya justru kerap dijadikan “musuh bersama” ketika menyuarakan kritik atas maraknya praktik usaha ilegal, terutama yang melibatkan warga negara asing (WNA).

“Semua masukan dan kritikan yang kusampaikan adalah bagian dari upaya menjaga hak warga Bali yang periuk nasinya sudah direbut dengan ugal-ugalan oleh WNA dan oknum warga lokal yang diajak bekerja sama,” tulisnya.

Ia menambahkan, ketika memperjuangkan hak masyarakat Bali, dirinya berulang kali menghadapi somasi dan laporan polisi, baik dari WNA maupun oknum pejabat. 

“Nih lihat berita malam ini. Paham mengapa Mbok konsisten menuntut agar aturan ditegakkan. Kalau sudah begini, mau apa? Di mana mata, hati, dan telinga yang kemarin menghujat Mbok Niluh?” ujarnya.

Niluh Djelantik mengaku telah belasan tahun berjuang sendirian menyuarakan pelanggaran-pelanggaran tersebut, hanya ditemani dukungan warganet. Ia menilai banyak pejabat baru bersuara setelah kondisi Bali memburuk. 

“Saat kondisi sudah parah baru berteriak Bali tidak baik-baik saja, sebelumnya justru sering mengecam Niluh Djelantik agar jangan keras-keras menindak WNA ilegal,” katanya.

Dalam unggahannya, Niluh Djelantik juga menantang pemerintah untuk menunjukkan keberanian dalam menindak tegas pelaku usaha ilegal.

 “Ayo tunjukkan nyali, data dan sidak semua usaha milik WNA yang tidak sah atau ilegal. Mbok bantu dan temani kalian,” tegasnya.

Niluh Djelantik menegaskan bahwa tingkat tekanan hidup masyarakat yang meningkat, hingga menjadikan Bali salah satu daerah dengan angka bunuh diri tertinggi di Indonesia, harus menjadi alarm bagi pemerintah.

 “Jangan tunggu Bali hancur lebur. Artinya, ada yang keliru dalam mengelola Bali,” tulisnya.

Share:

Selasa, 05 Agustus 2025

Ledakan Akomodasi di Badung Picu Pelanggaran Tata Ruang, Puspa Negara Ingatkan Pentingnya Pengawasan 24 Jam

 


BADUNG

Pertumbuhan pariwisata yang pesat di Kabupaten Badung diiringi tantangan serius berupa maraknya pelanggaran tata ruang dan menjamurnya akomodasi tanpa izin. Pengamat pariwisata yang juga Anggota DPRD Badung, I Wayan Puspa Negara, menilai kondisi ini merupakan konsekuensi dari pembangunan pariwisata yang berlangsung lebih cepat dibanding kesiapan infrastruktur dan pengawasan.

“Semua orang pernah berpikir bahwa Bali tumbuh menjadi destinasi internasional dengan infrastruktur yang terbatas. Oleh karena itu, timbullah persoalan,” ujarnya.

Ia menjelaskan, salah satu teori pembangunan menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi biasanya diikuti tiga hal: munculnya kawasan kumuh, meningkatnya kriminalitas, dan kerusakan tata ruang. “Hal ini adalah keniscayaan. Dan kita sedang melihat itu terjadi di Badung,” tambahnya.

Puspa Negara mengakui, dari sisi regulasi, Bali sebenarnya sudah memiliki payung hukum, antara lain Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPARDA) dan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pariwisata Budaya Bali. Setiap kecamatan di Badung juga memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang mengatur kawasan yang boleh dibangun.

Selain itu, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terbaru, terdapat kawasan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang seharusnya bebas dari pembangunan. “Pelanggaran di area ini sebenarnya tindak pidana karena melanggar undang-undang tata ruang,” tegasnya.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan pelanggaran berlangsung masif. Puspa Negara menyebut ada dua penyebab utama:

1. Pengawasan terbatas. Pemerintah daerah, khususnya unit teknis, hanya bekerja dengan jam kerja konvensional. “Padahal pariwisata justru berkembang di hari libur. Pengawasan seharusnya dilakukan 24 jam dengan sistem tiga shift, bukan tujuh jam sehari,” katanya.

2. Penegakan hukum belum maksimal. “Regulasi ada, tapi law enforcement belum berjalan optimal. Kita butuh pengawasan yang intensif dan berkesinambungan,” ujarnya.

Ledakan akomodasi di Badung kian terlihat dari data yang diungkap Puspa Negara. Dari lebih dari 40 ribu izin usaha akomodasi yang tercatat, hanya sekitar 10 ribu yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD) dan Nomor Objek Pajak Daerah (NOPD). “Artinya, sekitar 30 ribu usaha belum punya NPWPD. Potensi pajak hotel, restoran, dan hiburan belum tergarap maksimal,” paparnya.

Masalah ini tidak hanya menyangkut pajak, tetapi juga pelanggaran tata ruang. Banyak yang menyoroti vila ilegal atau vila monong, namun sesungguhnya seluruh sektor akomodasi berpotensi bermasalah. Ia merinci lima jenis akomodasi yang menjamur di Badung:


1. Private villa, dibangun untuk kepemilikan pribadi tanpa izin.

2. Kondovilla, vila mirip kondotel yang bisa dijual atau disewakan.

3. Townhouse, seperti rumah kos wisatawan yang marak di Denpasar dan Badung.

4. Kondotel, apartemen sewa yang sering disalahgunakan selama masa visa wisatawan.

5. Strata title, terkait kebijakan golden visa, memungkinkan wisatawan tinggal 5+10 tahun.


Kawasan yang berkembang pesat meliputi Batu Belig, Berawa, Canggu, Munggu, Tibu Beneng, hingga Pantai Seseh. “Pertumbuhan ini sudah menggerus lahan pertanian kita,” tegasnya.

Puspa Negara mencontohkan langkah strategis yang telah dilakukan di Pantai Bingin, Pecatu, berupa inventarisasi akomodasi, penentuan langkah hukum, dan eksekusi di lapangan. Menurutnya, penertiban pascapandemi dapat menjadi peringatan bagi investor agar tidak bertindak semena-mena.

“Kita tidak perlu saling menyalahkan. Yang penting memperjelas peran setiap pihak agar tidak ada pembiaran terhadap pertumbuhan yang tidak terkendali ini,” ujarnya.

Ia menegaskan ada tiga langkah yang harus diperkuat:

1. Law enforcement atau penegakan aturan.

2. Supervisi, monitoring, dan evaluasi yang intensif.

3. Komunikasi dan koordinasi antara pemerintah, masyarakat, dan stakeholder pariwisata.

Puspa Negara juga mendorong adanya pertemuan rutin atau gathering bersama pelaku pariwisata. “Dengan duduk bersama, kita bisa lebih mudah mengidentifikasi pertumbuhan di lapangan,” pungkasnya.

Share:

Selasa, 08 Juli 2025

Bali Jadi Pulau Terpadat Kedua di Dunia, Warga Lokal Merasa Terdesak di Tanah Sendiri


Denpasar – Pulau Bali kini menyandang predikat sebagai pulau terpadat kedua di dunia setelah Pulau Jawa. Fakta ini diungkapkan oleh Visual Capitalist melalui data terbaru yang mencatat bahwa Bali memiliki kepadatan penduduk mencapai 731 jiwa per kilometer persegi, dengan total luas wilayah sekitar 5.780 kilometer persegi dan populasi sekitar 4,2 juta jiwa.

Tingginya angka kepadatan ini menjadi sorotan karena menimbulkan tekanan serius terhadap ruang hidup, infrastruktur, dan kualitas lingkungan di Bali. Di balik pesona pariwisata yang mendunia, Bali kini menghadapi tantangan demografis yang tak bisa diabaikan.

“Kepadatan penduduk di Bali ini menjadi tantangan besar bagi saya yang merupakan salah satu krama desa yang seharusnya merasa nyaman di lingkungan sendiri,” ungkap Wahyuni (41), warga Denpasar yang aktif dalam kegiatan sosial, Jumat (4/7/2025).

Ia menyatakan bahwa perubahan pola migrasi turut mendorong peningkatan kepadatan di Pulau Dewata. Jika di era 1990-an mayoritas pendatang berasal dari Pulau Jawa, kini arus migrasi juga datang dari wilayah timur Indonesia, baik untuk mencari pendidikan maupun pekerjaan.

Fenomena ini tidak hanya berdampak pada urbanisasi, tapi juga memengaruhi sektor pertanian. Menurut Wahyuni, banyak warga lokal memilih bekerja ke luar negeri, sehingga lahan-lahan pertanian seperti kebun cengkeh dan kopi kekurangan tenaga kerja. Alhasil, pekerja dari luar Bali harus diandalkan untuk mengisi kekosongan itu.

“Lalu siapa yang mengambil peran untuk menjadi pemetik? Karena ada kekosongan itulah, akhirnya mengandalkan orang luar,” tambahnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa sebagian besar pendatang yang awalnya datang untuk bekerja, akhirnya memilih menetap dan membawa keluarganya ke Bali, menambah tekanan terhadap ketersediaan ruang dan akses atas tanah bagi warga lokal.

Kondisi ini mencerminkan tantangan jangka panjang yang dihadapi Bali, tidak hanya dari sisi tata ruang dan pembangunan, tetapi juga dalam menjaga keseimbangan sosial dan hak-hak masyarakat lokal di tengah arus migrasi dan pertumbuhan penduduk yang pesat.


Share:

Kategori

Arquivo do blog

Definition List

Support