Foto: Pengamat pariwisata, Panudiana Kuhn.
Denpasar (aspirasibali.my.id)
Pengamat pariwisata, Panudiana Kuhn, menegaskan bahwa konsep wisata berkualitas tidak bisa hanya diukur dari kemampuan belanja wisatawan. Menurutnya, sebelum menargetkan wisatawan berkualitas, Bali harus terlebih dahulu memperbaiki kualitas destinasi pariwisatanya sendiri.
“Kalau bicara wisata berkualitas, ini masih jadi perdebatan. Banyak yang mengartikan wisatawan berkualitas sebagai wisatawan yang punya pengeluaran tinggi dan menghormati budaya lokal. Tapi menurut kami dari kalangan dunia usaha, sebelum bicara soal kualitas wisatawan, kita harus memperbaiki dulu kualitas destinasi kita sendiri,” ujar Kuhn di Badung.
Ia menjelaskan, wisata berkualitas harus ditopang oleh infrastruktur yang tertata baik, lingkungan yang bersih, keamanan yang terjaga, dan pelayanan publik yang prima. Panudiana Kuhn menilai, layanan bandara, kemacetan lalu lintas, serta persoalan sampah di Bali masih perlu banyak dibenahi. “Kalau itu semua sudah diperbaiki, barulah kita bisa bicara soal wisatawan berkualitas,” tegasnya.
Sebagai contoh, Panudiana Kuhn menyoroti keseriusan Singapura dalam menggarap semua sektor pariwisata, termasuk wisata kesehatan. Negara tersebut mampu menarik hingga 18 juta wisatawan setiap tahun. “Orang rela berobat ke sana, meski biayanya tinggi. Kita sebenarnya juga punya rumah sakit internasional di Sanur, tapi belum banyak yang datang untuk berobat ke sana,” jelasnya.
Menurut Panudiana Kuhn, wisatawan berkualitas adalah mereka yang berpengeluaran tinggi dan menghormati budaya lokal. “Mereka menginap di hotel bintang lima, atau boutique hotel dengan tarif tinggi, bisa Rp10 juta, bahkan Rp50 juta per malam,” ujarnya. Namun, ia menyadari, karakter wisatawan di Bali masih sangat beragam, dari wisatawan kelas atas hingga backpacker dengan anggaran terbatas.
Ia mencontohkan kawasan Nusa Dua yang kini dikenal dengan nama ITDC (dulu BTDC) sebagai kawasan yang berhasil dikelola dengan konsep wisata premium. “Dari awal memang sudah ditata sebagai kawasan eksklusif dengan hotel-hotel bintang lima. Kalau di Singapura, hotel seperti itu tarifnya minimal Rp8,5 juta per malam, sementara di Bali masih jauh lebih murah. Lingkungannya bagus sekali, cocok untuk wisatawan yang benar-benar berkualitas,” ujarnya.
Meski begitu, Panudiana Kuhn menilai keberadaan wisatawan backpacker juga tidak bisa dihindari. “Di semua negara, termasuk Singapura, tetap ada segmen wisatawan murah seperti ini. Mereka juga punya peran tersendiri dalam dinamika pariwisata,” katanya.
Panudiana Kuhn mengakui bahwa penerapan konsep wisata berkualitas secara penuh masih sulit di Bali karena sistem pariwisata nasional yang terbuka untuk semua segmen wisatawan. “Kalau mau meniru negara yang hanya menerima turis tertentu, misalnya yang membayar mahal, itu susah diterapkan di sini. Kita tidak bisa menyeleksi tamu satu per satu. Begitu mereka bayar visa on arrival dan punya tiket pulang, mereka bisa langsung masuk,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika sistem seleksi diperketat dengan menutup VOA, risikonya justru wisatawan enggan datang. “Negara pesaing kita banyak yang memberikan VOA gratis. Jadi kita harus berhati-hati dalam membuat kebijakan seperti itu,” imbuhnya.
Terkait kebijakan tourist levy atau Pungutan Wisatawan Asing (PWA) di Bali, Panudiana Kuhn menyebut gagasan tersebut sangat baik, namun pelaksanaannya perlu dievaluasi agar lebih efektif. “Targetnya bisa sampai Rp1 triliun, tapi realisasinya baru sekitar 36 persen. Salah satunya karena lokasi konternya di bandara kurang strategis, ada di bawah, setelah proses imigrasi dan bea cukai. Harusnya satu jalur dengan pembayaran VOA, biar turis bisa langsung bayar bersamaan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, sistem pengelolaan dana PWA juga perlu dibuat lebih efisien. “Dulu sistemnya lewat BRI, dan katanya uang itu harus mengendap dulu enam bulan sebelum bisa digunakan. Tapi kalau uang Rp1 triliun mengendap enam bulan, kan lumayan juga bunganya. Jadi sebenarnya bisa diatur lebih efisien,” katanya.
Dalam konteks regional, Panudiana Kuhn menyoroti posisi Indonesia yang masih tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lainnya dalam jumlah kunjungan wisatawan. “Sekarang Malaysia paling banyak kunjungan turisnya, sampai Oktober sudah 28 juta. Thailand tahun lalu mencapai 35 juta wisatawan. Singapura dan Vietnam juga tinggi, bahkan Vietnam sudah menyalip Indonesia,” ujarnya.
Sementara Indonesia baru mencatat sekitar 16 juta wisatawan, dan Bali sendiri menargetkan 6,5 hingga 7 juta wisatawan per tahun. “Masih perlu banyak pembenahan kalau mau mencapai kualitas dan jumlah wisatawan seperti negara tetangga,” ujarnya menegaskan.
Panudiana Kuhn kemudian menilai bahwa semua segmen wisatawan tetap penting bagi Bali, namun fokus pengembangan tetap harus diarahkan pada wisatawan yang menghargai budaya lokal dan memiliki kontribusi ekonomi yang besar. “Wisatawan berkualitas itu mereka yang tinggal di hotel bintang lima atau boutique hotel, pengusaha, selebritas, atau pejabat yang menghargai budaya Bali. Mereka ini biasanya juga menggunakan layanan premium seperti mobil Alphard dan punya kesadaran budaya tinggi,” katanya.
“Sedangkan wisatawan backpacker kebanyakan mahasiswa atau akademisi dengan anggaran terbatas. Jumlah mereka banyak, tapi kontribusinya tidak sebesar wisatawan kelas atas. Karena itu, impian untuk menjadikan Bali sebagai destinasi wisata berkualitas tetap perlu didukung dengan perbaikan infrastruktur, layanan, dan kebijakan yang tepat,” pungkas Panudiana Kuhn.







0 comments:
Posting Komentar