Denpasar (aspirasibali.my.id)
Desa adat sebagai benteng utama pelestarian adat dan budaya Bali kini menghadapi tantangan serius di tengah derasnya pembangunan akomodasi pariwisata ilegal. Masuknya investor tanpa mekanisme kontrol yang jelas membuat pengawasan berbasis kearifan lokal semakin terpinggirkan, sementara visi pembangunan Bali berbasis adat dan budaya dipertanyakan arah keberlanjutannya.
Dalam struktur adat, desa adat memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengatur wilayahnya melalui penetapan zona suci, pelindungan kawasan wewidangan, serta kontrol sosial yang efektif untuk menegur atau menghentikan aktivitas yang melanggar norma adat. Namun, efektivitas pengawasan ini bergantung pada sinergi dengan pemerintah agar pembangunan tidak keluar dari koridor budaya yang menjadi identitas Bali.
Tokoh masyarakat, Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H., menegaskan bahwa desa adat sejak awal merupakan entitas otonom yang memiliki hak penuh mengatur wilayahnya. Ia menjelaskan bahwa dinamika politik dan pemerintahan telah menggeser posisi hukum adat yang sebelumnya menjadi acuan utama masyarakat.
“Jika dahulu hukum adat menjadi acuan utama dalam kehidupan masyarakat, kini hukum pemerintahlah yang lebih dominan,” ujarnya.
Padahal, menurutnya, hukum adat adalah pijakan yang ditaati masyarakat dalam urusan agama, sosial, dan tata kehidupan komunal.
Ketua Dewan Penasehat Forum Bela Negara (FBN) Republik Indonesia ini kemudian mengatakan bahwa hukum adat memang harus menyesuaikan perkembangan zaman, namun tidak boleh kehilangan akar tradisinya. Di tengah maraknya pembangunan vila dan akomodasi pariwisata lainnya, desa adat justru sering tidak dilibatkan.
“Investor kerap masuk dengan dalih memiliki tanah yang akan dibangun, tanpa berkonsultasi dengan prajuru desa adat. Situasi ini berpotensi mengganggu kenyamanan masyarakat,” katanya.
Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H., menekankan pentingnya keterlibatan tiga pihak dalam setiap investasi pariwisata di Bali, yakni investor, pemilik lahan, dan masyarakat desa adat. Tanpa kolaborasi itu, ia mengingatkan bahwa hubungan antara investor dan masyarakat adat dapat terganggu dan memicu kekacauan. Ia menyebutkan beberapa kasus yang pernah terdengar, termasuk di wilayah Ubud, di mana kehadiran tamu atau pendatang yang tidak memahami budaya lokal menimbulkan ketidaknyamanan hingga gesekan sosial.
Menurutnya, persoalan ini tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah maupun dilepas kepada masyarakat pemilik lahan. Ia menilai perlunya koordinasi yang solid di masing-masing wilayah agar desa wisata berkembang secara sinkron. Dengan demikian, desa adat dapat maju bersama, investor dapat menjalankan usaha dengan nyaman, dan masyarakat memperoleh manfaat melalui peluang kerja maupun pemanfaatan lahan yang sebelumnya tidak produktif.
Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H., juga menyoroti pentingnya memperkuat hubungan antara pemerintah pusat, daerah, dan desa adat. Ia menilai Dinas Pariwisata perlu aktif menanamkan pemahaman kepada para pelaku pembangunan tentang pentingnya menghormati hukum adat. Ketidakjelasan kesepakatan sejak awal, katanya, akan menimbulkan persoalan besar ketika bangunan sudah berdiri dan investasi terlanjur dikeluarkan, sehingga penyelesaiannya menjadi rumit.
Ia mengajak seluruh masyarakat Bali untuk menjaga keberlanjutan nilai adat sebagai identitas utama Pulau Dewata.
“Siapa lagi yang menghargai hukum adat kalau bukan kita masyarakat Bali sendiri. Karena itu, marilah semeton Bali untuk bersama-sama menjaga Bali,” serunya.
Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H., mengingatkan bahwa tidak semua pendatang datang dengan niat baik, dan sebagian berpotensi menggerus keberadaan desa adat. Tanpa antisipasi yang kuat, ia khawatir budaya dan tradisi Bali yang dikagumi dunia bisa terkikis perlahan.
"Tidak semua pendatang datang dengan niat baik, ada pula yang berpotensi mengurangi keberadaan desa adat. Jika tidak diantisipasi, budaya dan tradisi yang selama ini dikagumi dunia bisa terkikis perlahan," pungkasnya.







0 comments:
Posting Komentar