Rabu, 19 November 2025
Rahajeng Galungan lan Kuningan
Senin, 17 November 2025
Invasi Akomodasi Ilegal Ancam Ketertiban Bali, Tokoh Masyarakat IB Putu Madeg Serukan Penguatan Peran Desa Adat
Denpasar (aspirasibali.my.id)
Desa adat sebagai benteng utama pelestarian adat dan budaya Bali kini menghadapi tantangan serius di tengah derasnya pembangunan akomodasi pariwisata ilegal. Masuknya investor tanpa mekanisme kontrol yang jelas membuat pengawasan berbasis kearifan lokal semakin terpinggirkan, sementara visi pembangunan Bali berbasis adat dan budaya dipertanyakan arah keberlanjutannya.
Dalam struktur adat, desa adat memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengatur wilayahnya melalui penetapan zona suci, pelindungan kawasan wewidangan, serta kontrol sosial yang efektif untuk menegur atau menghentikan aktivitas yang melanggar norma adat. Namun, efektivitas pengawasan ini bergantung pada sinergi dengan pemerintah agar pembangunan tidak keluar dari koridor budaya yang menjadi identitas Bali.
Tokoh masyarakat, Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H., menegaskan bahwa desa adat sejak awal merupakan entitas otonom yang memiliki hak penuh mengatur wilayahnya. Ia menjelaskan bahwa dinamika politik dan pemerintahan telah menggeser posisi hukum adat yang sebelumnya menjadi acuan utama masyarakat.
“Jika dahulu hukum adat menjadi acuan utama dalam kehidupan masyarakat, kini hukum pemerintahlah yang lebih dominan,” ujarnya.
Padahal, menurutnya, hukum adat adalah pijakan yang ditaati masyarakat dalam urusan agama, sosial, dan tata kehidupan komunal.
Ketua Dewan Penasehat Forum Bela Negara (FBN) Republik Indonesia ini kemudian mengatakan bahwa hukum adat memang harus menyesuaikan perkembangan zaman, namun tidak boleh kehilangan akar tradisinya. Di tengah maraknya pembangunan vila dan akomodasi pariwisata lainnya, desa adat justru sering tidak dilibatkan.
“Investor kerap masuk dengan dalih memiliki tanah yang akan dibangun, tanpa berkonsultasi dengan prajuru desa adat. Situasi ini berpotensi mengganggu kenyamanan masyarakat,” katanya.
Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H., menekankan pentingnya keterlibatan tiga pihak dalam setiap investasi pariwisata di Bali, yakni investor, pemilik lahan, dan masyarakat desa adat. Tanpa kolaborasi itu, ia mengingatkan bahwa hubungan antara investor dan masyarakat adat dapat terganggu dan memicu kekacauan. Ia menyebutkan beberapa kasus yang pernah terdengar, termasuk di wilayah Ubud, di mana kehadiran tamu atau pendatang yang tidak memahami budaya lokal menimbulkan ketidaknyamanan hingga gesekan sosial.
Menurutnya, persoalan ini tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah maupun dilepas kepada masyarakat pemilik lahan. Ia menilai perlunya koordinasi yang solid di masing-masing wilayah agar desa wisata berkembang secara sinkron. Dengan demikian, desa adat dapat maju bersama, investor dapat menjalankan usaha dengan nyaman, dan masyarakat memperoleh manfaat melalui peluang kerja maupun pemanfaatan lahan yang sebelumnya tidak produktif.
Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H., juga menyoroti pentingnya memperkuat hubungan antara pemerintah pusat, daerah, dan desa adat. Ia menilai Dinas Pariwisata perlu aktif menanamkan pemahaman kepada para pelaku pembangunan tentang pentingnya menghormati hukum adat. Ketidakjelasan kesepakatan sejak awal, katanya, akan menimbulkan persoalan besar ketika bangunan sudah berdiri dan investasi terlanjur dikeluarkan, sehingga penyelesaiannya menjadi rumit.
Ia mengajak seluruh masyarakat Bali untuk menjaga keberlanjutan nilai adat sebagai identitas utama Pulau Dewata.
“Siapa lagi yang menghargai hukum adat kalau bukan kita masyarakat Bali sendiri. Karena itu, marilah semeton Bali untuk bersama-sama menjaga Bali,” serunya.
Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H., mengingatkan bahwa tidak semua pendatang datang dengan niat baik, dan sebagian berpotensi menggerus keberadaan desa adat. Tanpa antisipasi yang kuat, ia khawatir budaya dan tradisi Bali yang dikagumi dunia bisa terkikis perlahan.
"Tidak semua pendatang datang dengan niat baik, ada pula yang berpotensi mengurangi keberadaan desa adat. Jika tidak diantisipasi, budaya dan tradisi yang selama ini dikagumi dunia bisa terkikis perlahan," pungkasnya.
Rabu, 12 November 2025
Panudiana Kuhn: Wisata Berkualitas Harus Dimulai dari Perbaikan Destinasi
Foto: Pengamat pariwisata, Panudiana Kuhn.
Denpasar (aspirasibali.my.id)
Pengamat pariwisata, Panudiana Kuhn, menegaskan bahwa konsep wisata berkualitas tidak bisa hanya diukur dari kemampuan belanja wisatawan. Menurutnya, sebelum menargetkan wisatawan berkualitas, Bali harus terlebih dahulu memperbaiki kualitas destinasi pariwisatanya sendiri.
“Kalau bicara wisata berkualitas, ini masih jadi perdebatan. Banyak yang mengartikan wisatawan berkualitas sebagai wisatawan yang punya pengeluaran tinggi dan menghormati budaya lokal. Tapi menurut kami dari kalangan dunia usaha, sebelum bicara soal kualitas wisatawan, kita harus memperbaiki dulu kualitas destinasi kita sendiri,” ujar Kuhn di Badung.
Ia menjelaskan, wisata berkualitas harus ditopang oleh infrastruktur yang tertata baik, lingkungan yang bersih, keamanan yang terjaga, dan pelayanan publik yang prima. Panudiana Kuhn menilai, layanan bandara, kemacetan lalu lintas, serta persoalan sampah di Bali masih perlu banyak dibenahi. “Kalau itu semua sudah diperbaiki, barulah kita bisa bicara soal wisatawan berkualitas,” tegasnya.
Sebagai contoh, Panudiana Kuhn menyoroti keseriusan Singapura dalam menggarap semua sektor pariwisata, termasuk wisata kesehatan. Negara tersebut mampu menarik hingga 18 juta wisatawan setiap tahun. “Orang rela berobat ke sana, meski biayanya tinggi. Kita sebenarnya juga punya rumah sakit internasional di Sanur, tapi belum banyak yang datang untuk berobat ke sana,” jelasnya.
Menurut Panudiana Kuhn, wisatawan berkualitas adalah mereka yang berpengeluaran tinggi dan menghormati budaya lokal. “Mereka menginap di hotel bintang lima, atau boutique hotel dengan tarif tinggi, bisa Rp10 juta, bahkan Rp50 juta per malam,” ujarnya. Namun, ia menyadari, karakter wisatawan di Bali masih sangat beragam, dari wisatawan kelas atas hingga backpacker dengan anggaran terbatas.
Ia mencontohkan kawasan Nusa Dua yang kini dikenal dengan nama ITDC (dulu BTDC) sebagai kawasan yang berhasil dikelola dengan konsep wisata premium. “Dari awal memang sudah ditata sebagai kawasan eksklusif dengan hotel-hotel bintang lima. Kalau di Singapura, hotel seperti itu tarifnya minimal Rp8,5 juta per malam, sementara di Bali masih jauh lebih murah. Lingkungannya bagus sekali, cocok untuk wisatawan yang benar-benar berkualitas,” ujarnya.
Meski begitu, Panudiana Kuhn menilai keberadaan wisatawan backpacker juga tidak bisa dihindari. “Di semua negara, termasuk Singapura, tetap ada segmen wisatawan murah seperti ini. Mereka juga punya peran tersendiri dalam dinamika pariwisata,” katanya.
Panudiana Kuhn mengakui bahwa penerapan konsep wisata berkualitas secara penuh masih sulit di Bali karena sistem pariwisata nasional yang terbuka untuk semua segmen wisatawan. “Kalau mau meniru negara yang hanya menerima turis tertentu, misalnya yang membayar mahal, itu susah diterapkan di sini. Kita tidak bisa menyeleksi tamu satu per satu. Begitu mereka bayar visa on arrival dan punya tiket pulang, mereka bisa langsung masuk,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika sistem seleksi diperketat dengan menutup VOA, risikonya justru wisatawan enggan datang. “Negara pesaing kita banyak yang memberikan VOA gratis. Jadi kita harus berhati-hati dalam membuat kebijakan seperti itu,” imbuhnya.
Terkait kebijakan tourist levy atau Pungutan Wisatawan Asing (PWA) di Bali, Panudiana Kuhn menyebut gagasan tersebut sangat baik, namun pelaksanaannya perlu dievaluasi agar lebih efektif. “Targetnya bisa sampai Rp1 triliun, tapi realisasinya baru sekitar 36 persen. Salah satunya karena lokasi konternya di bandara kurang strategis, ada di bawah, setelah proses imigrasi dan bea cukai. Harusnya satu jalur dengan pembayaran VOA, biar turis bisa langsung bayar bersamaan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, sistem pengelolaan dana PWA juga perlu dibuat lebih efisien. “Dulu sistemnya lewat BRI, dan katanya uang itu harus mengendap dulu enam bulan sebelum bisa digunakan. Tapi kalau uang Rp1 triliun mengendap enam bulan, kan lumayan juga bunganya. Jadi sebenarnya bisa diatur lebih efisien,” katanya.
Dalam konteks regional, Panudiana Kuhn menyoroti posisi Indonesia yang masih tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lainnya dalam jumlah kunjungan wisatawan. “Sekarang Malaysia paling banyak kunjungan turisnya, sampai Oktober sudah 28 juta. Thailand tahun lalu mencapai 35 juta wisatawan. Singapura dan Vietnam juga tinggi, bahkan Vietnam sudah menyalip Indonesia,” ujarnya.
Sementara Indonesia baru mencatat sekitar 16 juta wisatawan, dan Bali sendiri menargetkan 6,5 hingga 7 juta wisatawan per tahun. “Masih perlu banyak pembenahan kalau mau mencapai kualitas dan jumlah wisatawan seperti negara tetangga,” ujarnya menegaskan.
Panudiana Kuhn kemudian menilai bahwa semua segmen wisatawan tetap penting bagi Bali, namun fokus pengembangan tetap harus diarahkan pada wisatawan yang menghargai budaya lokal dan memiliki kontribusi ekonomi yang besar. “Wisatawan berkualitas itu mereka yang tinggal di hotel bintang lima atau boutique hotel, pengusaha, selebritas, atau pejabat yang menghargai budaya Bali. Mereka ini biasanya juga menggunakan layanan premium seperti mobil Alphard dan punya kesadaran budaya tinggi,” katanya.
“Sedangkan wisatawan backpacker kebanyakan mahasiswa atau akademisi dengan anggaran terbatas. Jumlah mereka banyak, tapi kontribusinya tidak sebesar wisatawan kelas atas. Karena itu, impian untuk menjadikan Bali sebagai destinasi wisata berkualitas tetap perlu didukung dengan perbaikan infrastruktur, layanan, dan kebijakan yang tepat,” pungkas Panudiana Kuhn.
Senin, 10 November 2025
Konsulat-Jenderal Australia di Bali Resmikan Papan Nama Beraksara Bali Bersama Gubernur Koster: Simbol Persahabatan dan Penghormatan Budaya
Denpasar (aspirasibali.my.id)
Hubungan erat antara Australia dan Bali kembali menorehkan jejak bersejarah. Pada Senin, 10 November 2025, Konsul-Jenderal Australia di Bali, Jo Stevens, bersama Gubernur Bali, Dr. Ir. Wayan Koster, secara resmi meresmikan papan nama baru Konsulat-Jenderal Australia yang kini dilengkapi aksara Bali.
Langkah ini menjadikan Konsulat-Jenderal Australia sebagai kantor diplomatik pertama di Bali yang menggunakan aksara daerah tersebut pada papan namanya — sebuah gestur simbolik yang sarat makna penghormatan terhadap budaya dan kearifan lokal Pulau Dewata.
Dalam sambutannya, Jo Stevens menegaskan bahwa Bali memiliki tempat istimewa di hati masyarakat Australia.
“Bali adalah tempat yang istimewa bagi warga Australia karena kekayaan warisan dan budayanya. Dengan menambahkan aksara Bali pada papan nama kami, kami menunjukkan rasa hormat Australia yang mendalam terhadap masyarakat dan budaya Bali,” ujarnya.
Ia menambahkan, inisiatif ini juga merupakan bentuk dukungan simbolis dan nyata terhadap upaya Gubernur Koster dalam melestarikan budaya Bali, khususnya melalui kebijakan pelestarian aksara daerah.
“Saya sangat senang Gubernur Koster hadir hari ini untuk meresmikan papan nama kami. Australia akan selalu menjadi sahabat dan mitra dekat bagi Bali,” tambahnya.
Sementara itu, Gubernur Wayan Koster menyampaikan apresiasi dan rasa terima kasih kepada Konsulat-Jenderal Australia atas langkah diplomatik yang peka terhadap nilai-nilai budaya lokal.
“Terima kasih atas dukungan dan penghormatan Konsul-Jenderal terhadap kerja keras Pemerintah Provinsi Bali dalam melestarikan serta memajukan budaya Bali. Saya berharap kantor-kantor luar negeri lainnya dapat mencontoh Konsulat-Jenderal Australia,” ujar Koster.
Langkah ini selaras dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018, yang mewajibkan penggunaan aksara Bali berdampingan dengan aksara Latin pada papan nama kantor pemerintahan. Meskipun gedung diplomatik biasanya dikecualikan dari aturan tersebut, keputusan Konsulat-Jenderal Australia untuk turut menggunakannya dinilai sebagai bentuk penghormatan dan kolaborasi budaya yang luar biasa.
Peresmian papan nama tersebut juga dihadiri oleh Wali Kota Denpasar, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, dan Kepala Dinas Kebudayaan Bali.
Acara berlangsung hangat, menggambarkan semangat persahabatan lintas negara yang berakar pada saling pengertian dan penghormatan terhadap tradisi.
Melalui langkah sederhana namun penuh makna ini, Australia menunjukkan bahwa diplomasi tidak hanya dibangun melalui politik dan ekonomi, tetapi juga melalui penghormatan terhadap bahasa, aksara, dan identitas budaya lokal.
Minggu, 09 November 2025
Pansus TRAP DPRD Bali Soroti Lemahnya Pemahaman OSS, Biang Kerok Pelanggaran Tata Ruang di Bali
Denpasar (aspirasibali.my.id)
Sekretaris Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang dan Aset Pemerintah (TRAP) DPRD Bali, Dewa Nyoman Rai, menyoroti persoalan Online Single Submission (OSS) yang disebutnya menjadi salah satu faktor utama maraknya pembangunan yang melanggar tata ruang di Bali. Ia menilai, masih banyak pihak, termasuk birokrat daerah, yang belum memahami secara utuh sistem OSS tersebut.
“Banyak yang belum paham mengenai OSS,” tegas Dewa Nyoman Rai saat diwawancarai di Gedung DPRD Bali, Jumat, 7 Oktober 2025 lalu.
Menurutnya, OSS seringkali disalahartikan sebagai izin langsung untuk membangun, padahal tidak demikian. “Mereka hanya sebatas mendaftar dan mendapatkan NIB (Nomor Induk Berusaha), padahal itu bukan berarti mereka langsung bisa membangun,” ujarnya.
Dewa Nyoman Rai menegaskan, setelah mendapatkan NIB dari pusat, investor tetap harus mengikuti aturan dan mekanisme perizinan di daerah. Di Bali, proses tersebut harus melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) sebagai lembaga yang menjadi ujung tombak pelayanan investasi di daerah. Selain itu, terdapat pula mekanisme PKKPR (Pemberitahuan Kesediaan Kegiatan Penataan Ruang) yang di bawahnya terdapat forum komunikasi penataan ruang kabupaten/kota.
“Forum ini seharusnya berkolaborasi erat dengan dinas-dinas teknis terkait,” jelasnya.
Ia mencontohkan, baik investor dalam negeri maupun asing, tidak bisa serta-merta membangun hanya bermodal OSS. “Mereka harus berkoordinasi dengan dinas teknis di daerah. Dinas perizinan, misalnya, harus tahu di mana investor akan membangun hotel atau properti lainnya,” katanya.
Menurut Dewa Nyoman Rai, setiap rencana pembangunan juga wajib dikonsultasikan dengan dinas lain seperti Dinas Pertanian dan Dinas Lingkungan Hidup, terutama jika berkaitan dengan kawasan sensitif seperti jalur hijau atau Lahan Sawah Dilindungi (LSD). “Kalau semua aspek ini sudah clear, barulah pembangunan bisa berjalan dengan aman dan sesuai aturan,” ujarnya menegaskan.
Namun demikian, ia menilai koordinasi dan kolaborasi antardinas selama ini masih lemah. “Kurang intens, kurang nyambung. Akibatnya, terjadi tumpang tindih kebijakan yang justru menyulitkan investor,” ungkapnya.
Dewa Nyoman Rai menegaskan, Bali sangat membutuhkan investasi, namun harus tetap berpedoman pada tata ruang dan aturan daerah. “Kita memerlukan investasi, tapi investasi yang betul-betul sesuai dengan jalur-jalur yang ada,” ucapnya.
Ia mengingatkan pentingnya proses Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sebelum proyek pembangunan dimulai, khususnya untuk investor asing. Proses ini, katanya, harus mendapatkan izin dan persetujuan dari pemerintah setempat serta tokoh-tokoh masyarakat.
“Setidaknya, tokoh masyarakat harus tahu dan dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan. Karena hukum adat juga berperan besar di Bali,” ujarnya.
Dewa Nyoman Rai juga menyayangkan masih banyak kepala desa dan lurah yang tidak mengetahui adanya proyek di wilayahnya. “Beberapa kali saya turun ke daerah, saya tanya, ‘Pak Lurah kok tidak tahu?’ Jawabannya sering kali, ‘Pak, ini kan OSS dari pusat.’ Padahal OSS bukan berarti semua proses harus sentralistik dari pusat ke daerah,” ujarnya dengan nada prihatin.
Ia menekankan bahwa dinas teknis di daerah, termasuk kepala dinas terkait, harus aktif turun ke lapangan dan berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN), Dinas Pertanian, serta instansi lain yang memahami karakter wilayah pembangunan. “BPN sangat tahu daerah mana yang bisa dibangun dan mana yang tidak,” tambahnya.
Sebagai langkah konkret, Dewa Nyoman Rai mengungkapkan bahwa Pansus TRAP DPRD Bali telah mengagendakan pertemuan dengan berbagai pihak terkait, baik dari kabupaten/kota maupun tingkat provinsi. Tujuannya, untuk memperkuat koordinasi dan memperjelas mekanisme investasi di Bali.
“Harapannya, apa yang menjadi tujuan para investor dalam menanamkan modal di Bali dapat berjalan sejalan dengan aturan yang berlaku, serta tetap menjaga tata ruang dan kearifan lokal di Pulau Dewata,” pungkas Dewa Nyoman Rai.
Sabtu, 08 November 2025
Ketua KPU Bali Lidartawan Tegaskan Demokrasi Bukan Ikut-Ikutan, Tapi Pilihan yang Disadari
Denpasar (aspirasibali.my.id)
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali, I Dewa Agung Gede Lidartawan, S.T.P., M.P., mengingatkan pentingnya membangun kesadaran politik yang cerdas di kalangan generasi muda. Ia menegaskan, demokrasi bukan sekadar ikut-ikutan, melainkan wujud tanggung jawab untuk menentukan arah masa depan bangsa.
Hal itu disampaikan Lidartawan saat menjadi pembicara dalam talkshow bertajuk “Gerakan Perubahan untuk Restorasi” yang digelar DPW Partai NasDem Bali pada Sabtu (8/11/2025), di Ballroom DPW NasDem Bali, Renon, Denpasar.
“Sekarang lebih dari 60 persen pemilih kita adalah generasi milenial. Kalau cara berpikirnya masih seperti dulu—ikut-ikutan, main geng—ya hasilnya akan begitu-begitu saja,” ujarnya di hadapan peserta talkshow.
Menurutnya, pendidikan politik bagi generasi muda menjadi kunci utama dalam menjaga kualitas demokrasi. Pemilih muda harus memahami visi, misi, dan program kerja para calon pemimpin agar keputusan mereka didasarkan pada kesadaran, bukan tekanan sosial atau emosional.
“Minimal, adik-adik tahu visi, misi, dan program kerja dari calon pemimpin yang akan dipilih. Jangan hanya ikut-ikutan,” tegasnya.
Lidartawan mengungkapkan, berdasarkan hasil pemilu dan pilkada sebelumnya, hanya sekitar 20 persen pemilih muda yang benar-benar memilih dengan kesadaran untuk membawa perubahan. Sementara sisanya masih terpengaruh loyalitas partai, faktor emosional, atau bahkan iming-iming materi.
“Sisanya memilih karena takut partainya kalah, atau karena diberi seragam dan iming-iming lain. Akibatnya, setelah pemimpin duduk di kursinya, malah timbul keributan. Padahal yang disalahkan akhirnya siapa? Kita juga,” kata Lidartawan.
Ia menegaskan, demokrasi sejati hanya bisa terwujud jika masyarakat berani berpikir kritis dan berperan aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam era digital, hal itu semakin mudah dilakukan karena semua janji politik bisa direkam dan ditelusuri kembali oleh publik.
“Sekarang semuanya bisa direkam. Kalau dulu belum ada bukti, sekarang lewat handphone bisa direkam—janji politiknya, komitmennya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Lidartawan menekankan pentingnya keberanian publik untuk mengevaluasi kinerja para pemimpin. Ia mengajak masyarakat agar tidak ragu menghentikan dukungan terhadap pemimpin yang tidak menepati janji, sekaligus memberikan apresiasi bagi mereka yang bekerja nyata.
“Kalau mereka tidak menunjukkan kinerja, ya jangan didukung lagi. Tapi kalau mereka bekerja nyata dan konsisten dengan visi-misinya, ayo kita dorong bersama. Itulah check and balance,” tegasnya.
Sebagai lembaga penyelenggara pemilu, KPU Bali terus berupaya memperkuat pendidikan politik, termasuk melalui kegiatan sosialisasi di sekolah. Program ini dijalankan setiap tahun untuk menanamkan pemahaman demokrasi sejak dini.
“Setiap penerimaan siswa baru, kami masuk ke sekolah untuk menyosialisasikan pentingnya memahami proses demokrasi. Karena sering kali guru pun belum paham pentingnya hal ini—padahal tiga atau lima tahun lagi, para siswa itu sudah menjadi pemilih,” jelasnya.
Upaya tersebut, lanjutnya, telah memberikan hasil positif. Tingkat partisipasi pemilih di Bali kini mencapai 83 persen. Meski begitu, Lidartawan menilai masih ada tantangan untuk meningkatkan partisipasi dalam pilkada, yang cenderung lebih rendah dibanding pemilu nasional.
“Pilkada ini menentukan masa depan daerah kita sendiri. Jadi jangan anggap sepele,” pungkasnya.
Pengamat Pariwisata Yusdi Diaz Sebut Overtourism di Bali Lebih ke Masalah Sebaran dan Overpopulasi, Bukan Jumlah Wisatawan
Denpasar (aspirasibali.my.id)
Pengamat pariwisata Yusdi Diaz menilai persoalan yang dihadapi Bali saat ini bukan semata-mata soal overtourism atau kelebihan jumlah wisatawan, melainkan ketimpangan sebaran wisatawan dan meningkatnya populasi pendatang yang bekerja di sektor pariwisata. Ia menekankan perlunya penataan tata ruang yang tegas dan penerapan daya dukung (carrying capacity) agar pertumbuhan pariwisata tetap terkendali.
“Segala sesuatu yang berlebihan itu kesannya tidak baik. Overtourism, over booking, semuanya menunjukkan sesuatu yang tidak tertata dengan baik. Jadi sebelum kita bicara soal overtourism, kita harus tahu dulu berapa kapasitas Bali, berapa daya tampung wisatanya,” ujar Yusdi.
Menurutnya, persoalan utama yang muncul dari gejala overtourism bukan hanya karena banyaknya wisatawan, tetapi juga karena populasi pekerja sektor pariwisata yang terus bertambah. “Jadi bukan hanya tamu, tapi juga tenaga kerja yang datang ke Bali. Dari dulu sebenarnya sudah sering disampaikan bahwa kita harus menghitung carrying capacity-nya Bali. Kalau sudah tahu kapasitasnya, ya terapkan,” jelasnya.
Yusdi menambahkan, persoalan ini erat kaitannya dengan ketidaktegasan dalam penerapan tata ruang. Ia menyoroti bahwa pembangunan hotel, vila, dan tempat peristirahatan baru seharusnya dibatasi sesuai zonasi. “Kalau kita sudah punya tata ruang, ya dijaga. Jangan diubah-ubah lagi dengan berbagai alasan. Kadang demi peningkatan PAD, kita biarkan pembangunan tumbuh tanpa kendali,” tegasnya.
Lebih lanjut, Yusdi menyebut bahwa kondisi Bali saat ini sebenarnya belum bisa dikatakan mengalami overtourism, karena jumlah wisatawan masih di bawah masa sebelum pandemi. Namun, yang menjadi persoalan adalah sebaran wisatawan yang tidak merata antarwilayah.
“Menurut saya sebaran wisatawannya yang tidak merata. Kalau dilihat dari jumlah, angka kunjungan wisatawan kita sekarang masih di bawah sebelum pandemi. Yang berubah itu karakter tamunya. Sekarang lebih banyak tamu yang long stay, tapi spending-nya rendah,” katanya.
Ia menjelaskan, wisatawan yang tinggal lama banyak terkonsentrasi di kawasan seperti Canggu dan Berawa, namun dengan tingkat pengeluaran yang rendah. “Dulu, wisatawan banyak yang short stay tapi belanjanya besar. Sekarang banyak tamu yang tinggal lama, tapi cenderung lebih hemat,” ujarnya.
Dampak dari perubahan ini mulai terasa di sejumlah destinasi seperti Ubud, yang kini dinilai terlalu padat dan kehilangan kenyamanan. “Dulunya kan tenang dan nyaman, sekarang sangat ramai. Keramaian ini bukan hanya karena wisatawan, tapi juga karena pekerja yang menumpuk di sana, ditambah pembangunan akomodasi dan restoran yang berlebihan,” jelas Yusdi.
Ia menekankan perlunya limitasi dan pengawasan ketat terhadap pembangunan, terutama demi menjaga kelestarian budaya dan lingkungan. “Yang paling terasa itu degradasi budaya dan kerusakan lingkungan. Banyak area di tepi sungai dibeton demi keindahan, tapi kemudian menyebabkan banjir karena jalur air tertutup,” tuturnya.
Menurut Yusdi, permasalahan lainnya adalah ketimpangan jenis wisatawan yang datang. Saat ini, banyak muncul komunitas global seperti digital nomad atau global citizen yang berpusat di kawasan tertentu seperti Canggu. “Mereka hidup dari aktivitas online, pagi surfing, siang kerja di internet, begitu seterusnya,” katanya.
Sementara itu, wisatawan berkelas atas atau high-end yang datang ke kawasan seperti Uluwatu atau Mayong justru memberikan kontribusi ekonomi lebih besar. Namun, Yusdi menilai kedua segmen ini sama-sama penting bagi perekonomian Bali.
“Kalau kita terlalu banyak membatasi, UMKM kita bisa terdampak. Karena justru wisatawan seperti di Canggu dan Berawa inilah yang banyak menyerap produk UMKM lokal. Sedangkan tamu high-end, uangnya besar tapi sering kali tidak tinggal lama dan perputaran uangnya tidak terjadi di tingkat lokal,” ujarnya.
Karena itu, Yusdi menekankan perlunya kebijakan yang mampu menyeimbangkan antara kualitas wisatawan, pemerataan sebaran, dan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.
Selain sebaran wisatawan, Yusdi juga menyoroti fenomena overpopulasi akibat banyaknya pendatang yang ingin mengadu nasib di sektor pariwisata. “Bukan cuma wisatawan yang datang, tapi juga banyak orang dari luar yang datang untuk bekerja atau berusaha. Kalau wisatawan datang dan membawa uang, tentu bagus. Tapi persoalannya, populasi yang meningkat ini tidak terkontrol,” jelasnya.
Banyaknya orang yang tergiur oleh “gula-gula pariwisata” membuat sejumlah kawasan menjadi padat dan kumuh. “Mereka menumpuk di satu wilayah tanpa perencanaan yang baik. Akibatnya, muncul persoalan seperti lingkungan menjadi kumuh, sampah menumpuk, dan sebagainya,” ujarnya.
Menurutnya, Bali sudah memiliki banyak regulasi yang baik, namun penegakan hukumnya (enforcement) masih lemah. “Kita punya aturan yang bagus, sudah dipikirkan matang. Tapi penegakannya lemah. Jangan sampai penegakan hukum hanya berhenti di negosiasi, misalnya, mau ditindak atau tidak tergantung kesepakatan. Kalau memang melanggar, ya harus ditindak tegas,” tegasnya.
Yusdi menutup dengan menekankan pentingnya kenyamanan sosial dan keseimbangan pembangunan. “Yang paling penting, bagaimana kita bisa menciptakan lingkungan sosial yang nyaman dan tertata, agar semua orang yang hidup di Bali, baik penduduk lokal maupun pendatang, bisa hidup dengan layak tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan budaya,” pungkasnya.
Jumat, 07 November 2025
No Excuse! Pansus TRAP DPRD Bali Akan Sikat Pelanggar Tata Ruang, Sudah Kantongi Daftar Pelanggar
Denpasar (aspirasibali.my.id)
Pansus Tata Ruang dan Aset Pemerintah (TRAP) DPRD Bali memastikan akan menindak tegas berbagai pelanggaran tata ruang yang terjadi di sejumlah kabupaten/kota di Bali. Sekretaris Pansus TRAP, Dewa Nyoman Rai, menegaskan pihaknya telah mengantongi daftar lokasi yang menjadi prioritas penindakan dan akan segera ditindaklanjuti.
“Pansus TRAP bekerja sangat maksimal dan serius di seluruh kabupaten/kota se-Bali, karena Perda Nomor 2 Tahun 2023 ini dievaluasi hingga 20 tahun mendatang, sampai tahun 2043,” ujar Dewa Nyoman Rai.
Ia menjelaskan, langkah awal Pansus TRAP dimulai dari Kabupaten Badung, tepatnya di kawasan Uluwatu, Pantai Bingin. Di lokasi tersebut, tim menemukan banyak pelanggaran terhadap ketentuan tata ruang. Setelah melakukan peninjauan bersama instansi terkait, pihaknya langsung merekomendasikan tindakan tegas.
“Untuk menjaga tata ruang Bali hingga 100 tahun ke depan, pelanggaran semacam ini tidak boleh ditoleransi. Bagi yang melanggar, tidak ada alasan, izin harus dicabut. Kalau bisa ditutup, ya ditutup. Kalau tidak mau ditutup secara sukarela, ya kami bongkar, seperti yang sudah dilakukan sebelumnya di Pantai Bingin,” tegasnya.
Namun, pelanggaran tata ruang tak hanya terjadi di Badung. Menurutnya, temuan serupa juga ditemukan di berbagai daerah lain di Bali. “Kerja Pansus TRAP tidak hanya di Badung, tapi di seluruh kabupaten/kota. Kami sudah punya daftar wilayah yang menjadi perhatian untuk ditindaklanjuti,” jelasnya.
Sebelum turun ke lapangan, tim Pansus TRAP selalu melakukan koordinasi di kantor DPRD Bali, sekaligus mengkaji laporan masyarakat yang masuk. Mereka juga membentuk tim khusus yang bertugas menelusuri laporan-laporan tersebut. Bila hasil kajian menunjukkan indikasi pelanggaran, barulah tim diterjunkan untuk melakukan pemeriksaan di lapangan.
Selain di Badung, pelanggaran berat juga ditemukan di kawasan Canggu, Kabupaten Badung bagian utara. Menurut Dewa Rai, banyak pihak yang hanya berbekal OSS dan NIB langsung melakukan pembangunan tanpa melengkapi syarat-syarat lain. “Begitu kami temukan, kami langsung turun dan memberikan rekomendasi tegas,” ujarnya.
Penertiban juga dilakukan di Buleleng, di mana ditemukan pembangunan di salah satu kawasan hutan desa. Proyek tersebut akhirnya ditutup. Kasus serupa juga terjadi di Hotel Amankila, Karangasem, yang ditemukan melakukan pelanggaran tata ruang. Sementara di Klungkung, Pansus TRAP ikut menangani polemik pembangunan lift kaca di Pantai Kelingking yang menimbulkan sorotan publik.
Yang lebih sensitif, kata Dewa Rai, adalah pelanggaran yang terjadi di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura). Menurutnya, kasus di Tahura ini tergolong aneh dan serius karena undang-undang telah melarang segala bentuk aktivitas di kawasan tersebut.
“Bahkan menebang sedikit saja tidak boleh. Tahura ini penting karena berfungsi sebagai daerah resapan air. Kalau sampai diganggu, dampaknya bisa serius, seperti banjir yang sempat terjadi kemarin,” ungkapnya.
Tak hanya itu, Pansus TRAP juga tengah menyoroti persoalan 106 sertifikat tanah yang dinilai janggal karena berada di kawasan kehutanan. “Saya katakan lucu dan aneh, karena sudah jelas sejak tahun 1999 kawasan tersebut masuk wilayah kehutanan dan tidak boleh ada Sertifikat Alas Hak Milik (SAM) di sana,” katanya.
Ia juga mempertanyakan argumentasi pihak BPN Provinsi Bali yang menyebut penerbitan sertifikat itu sudah sesuai aturan. “Mereka bilang acuannya dari RTRW kabupaten dan kota, padahal RTRW daerah harus mengacu pada RTRW provinsi, bukan sebaliknya. Aturan di bawah tidak boleh mendahului aturan yang lebih tinggi,” tegasnya.
Dewa Rai menekankan, Pansus TRAP akan terus mengawasi dan menertibkan setiap pelanggaran tata ruang yang terjadi di Bali. Kesalahan prosedur dalam perizinan, menurutnya, harus disikapi serius agar tidak menjadi preseden buruk bagi penataan ruang di masa mendatang.
“Sekarang di Bali masih banyak kasus seperti itu. Kami sudah punya daftar lokasi-lokasi yang akan diumumkan ke publik dan mana yang tidak. Hal ini sangat mendesak. Kalau sidak seperti ini tidak terus dilakukan, ke depan pelanggaran tata ruang akan semakin parah,” ujarnya.
Saat ini, Pansus TRAP telah memegang daftar prioritas puluhan lokasi pelanggaran yang siap ditindaklanjuti dalam waktu dekat. Namun, Dewa Rai menegaskan bahwa tidak semua kasus akan langsung dibongkar. Pihaknya tetap melihat konteks di lapangan.
“Kalau bangunan sudah terlanjur berdiri, kami beri kesempatan untuk menyesuaikan dengan aturan yang berlaku. Tapi jika tidak bisa menyesuaikan, maka tidak ada alasan, no excuse, tidak ada kata maaf bagi pelanggaran tata ruang di Bali,” pungkasnya.
Dalam Waktu Dekat Pansus TRAP DPRD Bali Akan Panggil Pengembang Proyek Lift Kaca di Pantai Kelingking
Denpasar (aspirasibali.my.id)
Polemik pembangunan proyek lift kaca di Pantai Kelingking, Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, terus bergulir. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali melalui Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) memastikan akan memanggil pihak pengembang untuk dimintai klarifikasi resmi terkait legalitas proyek yang dinilai bermasalah tersebut.
Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Supartha, mengatakan saat ini pihaknya tengah melakukan pendalaman terhadap sejumlah temuan lapangan di kawasan Kelingking, Desa Bunga Mekar, Kecamatan Nusa Penida. Dalam waktu dekat, tepatnya minggu depan, Pansus akan mengundang sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dari Kabupaten Klungkung dan Provinsi Bali untuk membahas aspek tata ruang, aset, serta perizinan yang berkaitan dengan kegiatan pembangunan lift kaca tersebut.
“Langkah ini dilakukan agar dapat diambil keputusan yang tepat sesuai ketentuan. Pansus menjalankan tugasnya sebagai bagian dari fungsi kelembagaan di tingkat Provinsi Bali,” ujar Supartha di Denpasar.
Supartha menegaskan, DPRD Bali akan memanggil pihak pengembang proyek, bersama Pemerintah Kabupaten Klungkung dan Pemerintah Provinsi Bali, guna dimintai keterangan resmi terkait izin pembangunan yang telah dikeluarkan.
Menurutnya, pemanggilan ini direncanakan dilakukan pada minggu depan setelah pembahasan internal dan koordinasi dengan OPD terkait selesai. “Setelah pendalaman bersama OPD, hasilnya bisa mengarah pada beberapa keputusan: penghentian permanen kegiatan atau pemberian sanksi sesuai perda dan undang-undang yang berlaku,” jelasnya.
Sanksi yang dimaksud dapat bersifat administratif maupun pidana. Berdasarkan peraturan tentang tata ruang tahun 2006–2007, kegiatan yang melanggar dapat dikenai penutupan sementara, perbaikan izin, pencabutan izin, hingga pembongkaran bangunan. Bahkan, Pasal 73 Undang-Undang Penataan Ruang juga menyebutkan bahwa pihak yang menerbitkan izin dapat dievaluasi dan diproses hukum apabila ditemukan pelanggaran.
“Jadi bukan hanya pengembang yang akan dimintai penjelasan, tetapi juga pihak yang mengeluarkan izin. Semua akan dievaluasi secara menyeluruh,” tegas Supartha.
Pansus TRAP sebelumnya menemukan adanya pembangunan lift kaca di tepi tebing yang dijadikan daya tarik wisata oleh pengusaha. Namun, jika mengacu pada Perda Nomor 5 Tahun 2020 tentang Daya Tarik Wisata, konsep wisata modern seperti itu dinilai tidak sesuai dengan karakter pariwisata Bali yang berbasis budaya, alam, adat istiadat, dan kearifan lokal.
Bali, kata Supartha, dikenal dunia karena keunikan budaya dan keseniannya seperti tarian, gamelan, dan ritual adat. Daya tarik modern yang menonjolkan unsur teknologi tanpa sentuhan budaya dianggap tidak sejalan dengan visi pariwisata berbasis budaya yang menjadi roh pembangunan Pulau Dewata.
Selain aspek budaya, proyek lift kaca ini juga diduga melanggar sejumlah Peraturan Daerah (Perda) strategis, antara lain:
1. Perda Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketinggian Bangunan, yang menetapkan batas maksimal bangunan di Bali adalah 15 meter atau setara lima lantai. Lift seharusnya hanya digunakan di dalam bangunan tertutup, bukan di area terbuka seperti tebing.
2. Perda Nomor 5 Tahun 2015 tentang Arsitektur Bali, yang mewajibkan setiap bangunan mencerminkan arsitektur dan nuansa budaya Bali. Desain lift kaca dinilai tidak memenuhi ketentuan ini.
3. Perda tentang Tata Ruang, yang melarang pembangunan di kawasan tebing, sepadan pantai, jurang, dan wilayah mitigasi bencana.
Dari hasil penelusuran, kegiatan pembangunan dilakukan di area zona perlindungan dan tanah negara, mencakup kawasan sepadan pantai dan jurang dengan risiko bencana tinggi.
Informasi dari otoritas terkait menyebutkan bahwa kawasan tebing selatan Nusa Penida merupakan area dengan tingkat risiko kecelakaan tinggi. Gelombang besar dari Samudra Hindia dapat datang secara tiba-tiba, dan kondisi tebing yang curam sering memakan korban.
Fakta tersebut memperkuat pandangan Pansus bahwa kawasan tersebut termasuk dalam wilayah mitigasi bencana yang seharusnya steril dari aktivitas pembangunan. Karena itu, proyek lift kaca dinilai bertentangan dengan prinsip keselamatan dan perlindungan lingkungan.
Pihak pengembang diketahui mengantongi izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Klungkung dan menyebut kawasan tersebut berisiko rendah. Namun, hasil pengecekan lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya.
Pansus pun mempertanyakan keabsahan izin tersebut, mengingat proyek di kawasan seperti Nusa Penida seharusnya melibatkan koordinasi lintas kewenangan antara pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat. Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bahkan pihak yang menerbitkan izin dapat dievaluasi jika terjadi penyimpangan.
Selain itu, dari sisi aset, lahan di bawah lokasi pembangunan diketahui merupakan tanah milik negara, memperkuat dugaan pelanggaran atas pemanfaatan lahan publik tanpa prosedur yang sah.
Untuk memastikan kejelasan status hukum dan administrasi proyek, Pansus TRAP DPRD Bali akan menggelar rapat kerja dengan pihak-pihak terkait pada minggu depan, kemungkinan pada hari Selasa atau Rabu.
“Hasil rapat ini akan menjadi dasar bagi Pansus untuk menyusun rekomendasi resmi kepada DPRD Provinsi Bali. Semua keputusan akan berpedoman pada Undang-Undang Penataan Ruang dan Perda strategis Bali,” ungkap Supartha.
Sementara itu, Direktur PT Bina Nusa Properti, I Komang Suantara, selaku penghubung investor asal China, menegaskan bahwa proyek lift kaca Pantai Kelingking telah memiliki izin lengkap dan melalui proses sesuai ketentuan hukum.
“Viral konten itu, tidak ada kami ditelepon. Tidak ada data dari kami. Tidak ada izin dari kami rilis yang viral ini. Apakah benar data yang mereka sampaikan atau tidak. Saya luruskan bahwa kami berproses dengan benar. Tidak ada administrasi yang bolong. Melalui persidangan, proses pemantauan di lapangan. Kami yakinkan akan terus berproses,” ujar Suantara, dikutip dari detikBali, Kamis (30/10).
Ia menambahkan, proyek ini merupakan kerja sama antara PT Bina Nusa Properti, investor China, dan masyarakat Banjar Adat Karang Dewa yang mewilayahi kawasan tersebut. Pihaknya juga telah melakukan uji kelayakan teknis sebelum pembangunan dimulai.
“Pada awal kami tidak langsung membangun. Dari pertama, kami melakukan sondir (metode pengujian lapangan). Ada konsultan, ada lembaga independen yang melakukan cross check terhadap kekuatan tanah. Setelah dilakukan analisis dan dikeluarkan keputusan, bahwa tanah ini layak dibangun lift,” terangnya.
Menurut Suantara, proyek lift kaca setinggi 182 meter itu juga telah mengikuti Perda Kabupaten Klungkung Nomor 1 Tahun 2024 dan Perda Nomor 2 Tahun 2023, serta mendapat dukungan masyarakat setempat.
Kasus pembangunan lift kaca di Pantai Kelingking kini menjadi perhatian luas, bukan hanya karena aspek legalitas, tetapi juga karena menyangkut arah pembangunan pariwisata Bali ke depan. Pansus TRAP DPRD Bali menegaskan akan menjalankan proses pengawasan secara menyeluruh agar keputusan yang diambil berpihak pada kepentingan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
Pansus TRAP DPRD Bali Dalami Dugaan Pelanggaran Pembangunan Lift Kaca di Pantai Kelingking
Denpasar (aspirasibali.my.id)
Pembangunan proyek lift kaca di Pantai Kelingking, Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, kembali menjadi sorotan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali melalui Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) tengah mendalami sejumlah temuan lapangan yang mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap berbagai ketentuan peraturan daerah dan undang-undang penataan ruang.
Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Supartha, mengatakan proses pendalaman saat ini sedang berlangsung di kawasan Kelingking, Desa Bunga Mekar, Kecamatan Nusa Penida. Dalam waktu dekat, pihaknya akan mengundang sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dari Kabupaten Klungkung dan Provinsi Bali untuk membahas aspek tata ruang, aset, serta perizinan yang berkaitan dengan kegiatan di lokasi tersebut.
“Langkah ini dilakukan agar dapat diambil keputusan yang tepat sesuai ketentuan. Pansus menjalankan tugasnya sebagai bagian dari fungsi kelembagaan di tingkat Provinsi Bali,” ujarnya.
Hasil inspeksi mendadak (sidak) Pansus di lapangan menemukan adanya pembangunan lift kaca di tepi tebing Pantai Kelingking yang dijadikan daya tarik wisata. Namun, pembangunan tersebut dinilai tidak sesuai dengan Perda Nomor 5 Tahun 2020 tentang Daya Tarik Wisata, yang menegaskan bahwa pengembangan pariwisata Bali harus berbasis pada budaya, alam, adat istiadat, dan kearifan lokal.
Selama ini, Bali dikenal dunia karena keunikan budaya dan keseniannya, seperti tarian, gamelan, dan berbagai ekspresi budaya lainnya. Menurut Pansus, daya tarik modern seperti lift kaca dinilai bertentangan dengan prinsip pariwisata berbasis budaya yang menjadi identitas Pulau Dewata.
Selain itu, pembangunan lift kaca ini juga diduga melanggar sejumlah peraturan daerah lainnya, antara lain:
1. Perda Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketinggian Bangunan, yang menetapkan batas maksimal bangunan di Bali adalah 15 meter atau setara lima lantai. Lift seharusnya hanya digunakan di dalam gedung, bukan di area terbuka seperti tebing.
2. Perda Nomor 5 Tahun 2015 tentang Arsitektur Bali, yang mengatur bahwa setiap bangunan wajib mencerminkan arsitektur dan nuansa budaya Bali. Lift kaca dianggap tidak memenuhi ketentuan tersebut.
3. Perda tentang Tata Ruang, yang melarang aktivitas pembangunan di kawasan tebing, sepadan pantai, jurang, dan wilayah mitigasi bencana.
Dari hasil penelusuran, kegiatan pembangunan dilakukan di area yang termasuk zona perlindungan dan tanah negara, mencakup kawasan sepadan pantai serta jurang yang memiliki potensi bahaya tinggi.
Informasi dari pihak kepolisian menyebutkan bahwa wilayah tebing di sisi selatan Nusa Penida kerap menjadi lokasi kecelakaan akibat kondisi alam ekstrem. Gelombang dari Samudra Hindia yang tiba-tiba datang serta kontur tebing yang curam membuat kawasan tersebut rawan insiden fatal.
Oleh karena itu, wilayah ini dikategorikan sebagai zona mitigasi bencana yang seharusnya steril dari kegiatan pembangunan. Fakta ini menambah keprihatinan Pansus atas izin pembangunan yang justru diberikan di area berisiko tinggi.
Pihak pengembang proyek mengklaim telah mengantongi izin dari Pemerintah Kabupaten Klungkung dan menyebut kawasan tersebut berisiko rendah. Namun, hasil pengecekan lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya: tebing yang curam, aktivitas wisata ekstrem seperti base jumping, dan lokasi yang berhadapan langsung dengan laut lepas.
Hal ini membuat Pansus mempertanyakan keabsahan izin yang dikeluarkan Pemkab Klungkung, mengingat izin pembangunan juga melibatkan kewenangan pemerintah provinsi dan pusat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pihak yang menerbitkan izin pun dapat dievaluasi dan diproses hukum jika terjadi pelanggaran.
Selain itu, dari sisi aset, lahan di bawah lokasi pembangunan diketahui merupakan tanah milik negara, sehingga memperkuat dugaan adanya pelanggaran terhadap ketentuan tata ruang dan pengelolaan aset publik.
Berdasarkan hasil sementara, Pansus menilai telah terjadi pelanggaran terhadap beberapa Perda strategis Provinsi Bali yang berkaitan dengan sektor pariwisata, tata ruang, dan arsitektur. Untuk memastikan kejelasan hukum dan kebijakan, Pansus akan menggelar rapat kerja dengan pihak-pihak terkait pada minggu depan, kemungkinan pada hari Selasa atau Rabu.
“Hasil rapat tersebut akan menjadi dasar dalam penyusunan rekomendasi resmi Pansus. Rekomendasi itu nantinya akan berpedoman pada Undang-Undang Penataan Ruang dan Perda-Perda Strategis Provinsi Bali, khususnya yang mengatur tentang pemanfaatan ruang dan prinsip pengembangan pariwisata berbasis budaya dan kearifan lokal,” kata Supartha.
Di sisi lain, Direktur PT Bina Nusa Properti, I Komang Suantara, yang menjadi penghubung investor asal Tiongkok dalam proyek lift kaca Pantai Kelingking, menegaskan bahwa pihaknya telah menjalankan seluruh proses perizinan sesuai aturan.
“Viral konten itu, tidak ada kami ditelepon. Tidak ada data dari kami. Tidak ada izin dari kami rilis yang viral ini. Apakah benar data yang mereka sampaikan atau tidak. Saya luruskan bahwa kami berproses dengan benar. Tidak ada administrasi yang bolong. Melalui persidangan, proses pemantauan di lapangan. Kami yakinkan akan terus berproses,” papar Suantara, dikutip dari detikBali, Kamis (30/10).
Ia menambahkan, proyek ini merupakan hasil kerja sama antara PT Bina Nusa Properti, investor China, serta masyarakat Banjar Adat Karang Dewa yang mewilayahi lokasi proyek.
“Pada awal kami tidak langsung membangun. Dari pertama, kami melakukan sondir (metode pengujian lapangan). Ada konsultan, ada lembaga yang independen yang melakukan cross check terhadap teknisi daripada kandungan mineral dan kekuatan tanah tersebut. Setelah dilakukan analisis dan dikeluarkan keputusan, bahwa tanah ini layak dibangun lift,” ujarnya.
Menurut Suantara, proyek lift kaca ini juga telah disesuaikan dengan Perda Kabupaten Klungkung Nomor 1 Tahun 2024 dan Perda Nomor 2 Tahun 2023, serta mendapatkan persetujuan dari masyarakat setempat.












.jpeg)

