Ruang Ekspresi dari Bali

Sabtu, 08 November 2025

Pengamat Pariwisata Yusdi Diaz Sebut Overtourism di Bali Lebih ke Masalah Sebaran dan Overpopulasi, Bukan Jumlah Wisatawan

Foto: Pengamat pariwisata Yusdi Diaz.

Denpasar (aspirasibali.my.id)

Pengamat pariwisata Yusdi Diaz menilai persoalan yang dihadapi Bali saat ini bukan semata-mata soal overtourism atau kelebihan jumlah wisatawan, melainkan ketimpangan sebaran wisatawan dan meningkatnya populasi pendatang yang bekerja di sektor pariwisata. Ia menekankan perlunya penataan tata ruang yang tegas dan penerapan daya dukung (carrying capacity) agar pertumbuhan pariwisata tetap terkendali.

“Segala sesuatu yang berlebihan itu kesannya tidak baik. Overtourism, over booking, semuanya menunjukkan sesuatu yang tidak tertata dengan baik. Jadi sebelum kita bicara soal overtourism, kita harus tahu dulu berapa kapasitas Bali, berapa daya tampung wisatanya,” ujar Yusdi.

Menurutnya, persoalan utama yang muncul dari gejala overtourism bukan hanya karena banyaknya wisatawan, tetapi juga karena populasi pekerja sektor pariwisata yang terus bertambah. “Jadi bukan hanya tamu, tapi juga tenaga kerja yang datang ke Bali. Dari dulu sebenarnya sudah sering disampaikan bahwa kita harus menghitung carrying capacity-nya Bali. Kalau sudah tahu kapasitasnya, ya terapkan,” jelasnya.

Yusdi menambahkan, persoalan ini erat kaitannya dengan ketidaktegasan dalam penerapan tata ruang. Ia menyoroti bahwa pembangunan hotel, vila, dan tempat peristirahatan baru seharusnya dibatasi sesuai zonasi. “Kalau kita sudah punya tata ruang, ya dijaga. Jangan diubah-ubah lagi dengan berbagai alasan. Kadang demi peningkatan PAD, kita biarkan pembangunan tumbuh tanpa kendali,” tegasnya.

Lebih lanjut, Yusdi menyebut bahwa kondisi Bali saat ini sebenarnya belum bisa dikatakan mengalami overtourism, karena jumlah wisatawan masih di bawah masa sebelum pandemi. Namun, yang menjadi persoalan adalah sebaran wisatawan yang tidak merata antarwilayah.

“Menurut saya sebaran wisatawannya yang tidak merata. Kalau dilihat dari jumlah, angka kunjungan wisatawan kita sekarang masih di bawah sebelum pandemi. Yang berubah itu karakter tamunya. Sekarang lebih banyak tamu yang long stay, tapi spending-nya rendah,” katanya.

Ia menjelaskan, wisatawan yang tinggal lama banyak terkonsentrasi di kawasan seperti Canggu dan Berawa, namun dengan tingkat pengeluaran yang rendah. “Dulu, wisatawan banyak yang short stay tapi belanjanya besar. Sekarang banyak tamu yang tinggal lama, tapi cenderung lebih hemat,” ujarnya.

Dampak dari perubahan ini mulai terasa di sejumlah destinasi seperti Ubud, yang kini dinilai terlalu padat dan kehilangan kenyamanan. “Dulunya kan tenang dan nyaman, sekarang sangat ramai. Keramaian ini bukan hanya karena wisatawan, tapi juga karena pekerja yang menumpuk di sana, ditambah pembangunan akomodasi dan restoran yang berlebihan,” jelas Yusdi.

Ia menekankan perlunya limitasi dan pengawasan ketat terhadap pembangunan, terutama demi menjaga kelestarian budaya dan lingkungan. “Yang paling terasa itu degradasi budaya dan kerusakan lingkungan. Banyak area di tepi sungai dibeton demi keindahan, tapi kemudian menyebabkan banjir karena jalur air tertutup,” tuturnya.

Menurut Yusdi, permasalahan lainnya adalah ketimpangan jenis wisatawan yang datang. Saat ini, banyak muncul komunitas global seperti digital nomad atau global citizen yang berpusat di kawasan tertentu seperti Canggu. “Mereka hidup dari aktivitas online, pagi surfing, siang kerja di internet, begitu seterusnya,” katanya.

Sementara itu, wisatawan berkelas atas atau high-end yang datang ke kawasan seperti Uluwatu atau Mayong justru memberikan kontribusi ekonomi lebih besar. Namun, Yusdi menilai kedua segmen ini sama-sama penting bagi perekonomian Bali.

“Kalau kita terlalu banyak membatasi, UMKM kita bisa terdampak. Karena justru wisatawan seperti di Canggu dan Berawa inilah yang banyak menyerap produk UMKM lokal. Sedangkan tamu high-end, uangnya besar tapi sering kali tidak tinggal lama dan perputaran uangnya tidak terjadi di tingkat lokal,” ujarnya.

Karena itu, Yusdi menekankan perlunya kebijakan yang mampu menyeimbangkan antara kualitas wisatawan, pemerataan sebaran, dan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.

Selain sebaran wisatawan, Yusdi juga menyoroti fenomena overpopulasi akibat banyaknya pendatang yang ingin mengadu nasib di sektor pariwisata. “Bukan cuma wisatawan yang datang, tapi juga banyak orang dari luar yang datang untuk bekerja atau berusaha. Kalau wisatawan datang dan membawa uang, tentu bagus. Tapi persoalannya, populasi yang meningkat ini tidak terkontrol,” jelasnya.

Banyaknya orang yang tergiur oleh “gula-gula pariwisata” membuat sejumlah kawasan menjadi padat dan kumuh. “Mereka menumpuk di satu wilayah tanpa perencanaan yang baik. Akibatnya, muncul persoalan seperti lingkungan menjadi kumuh, sampah menumpuk, dan sebagainya,” ujarnya.

Menurutnya, Bali sudah memiliki banyak regulasi yang baik, namun penegakan hukumnya (enforcement) masih lemah. “Kita punya aturan yang bagus, sudah dipikirkan matang. Tapi penegakannya lemah. Jangan sampai penegakan hukum hanya berhenti di negosiasi, misalnya, mau ditindak atau tidak tergantung kesepakatan. Kalau memang melanggar, ya harus ditindak tegas,” tegasnya.

Yusdi menutup dengan menekankan pentingnya kenyamanan sosial dan keseimbangan pembangunan. “Yang paling penting, bagaimana kita bisa menciptakan lingkungan sosial yang nyaman dan tertata, agar semua orang yang hidup di Bali, baik penduduk lokal maupun pendatang, bisa hidup dengan layak tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan budaya,” pungkasnya.

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Kategori

Arquivo do blog

Definition List

Support