Badung (aspirasibali.my.id)
Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan langkah tegas pemerintah provinsi dalam menyelesaikan persoalan sampah yang selama ini mencemari citra Pulau Dewata. Melalui surat resmi bertanggal 5 Desember 2025, Koster menetapkan batas waktu penutupan total Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Suwung pada 23 Desember 2025. Setelah tanggal tersebut, Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Kabupaten Badung secara resmi dilarang membuang sampah ke lokasi tersebut. Kebijakan ini menjadi penanda perubahan besar dalam pola pengelolaan sampah di dua wilayah dengan produksi sampah terbesar di Bali itu.
Pemerhati lingkungan sekaligus advokat, Adv.A. A. Bagus Adhi Mahendra Putra, S.H., M.H., M.Kn., atau yang akrab disapa Gus Adhi memberikan pandangan kritis sekaligus apresiatif terhadap langkah Gubernur Koster. Ia menilai kebijakan tersebut merupakan keputusan berani yang memang harus diambil untuk memutus rantai persoalan sampah kronis di TPA Suwung.
“Di satu sisi, saya mengapresiasi kebijakan tersebut karena penanganan sampah memang harus segera dilakukan. Saat saya masih menjadi anggota Komisi IV, saya sudah bersuara lantang bahwa penumpukan sampah di TPA Suwung merupakan pelanggaran hukum, bahkan melanggar dua undang-undang sekaligus:
1. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
2. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Ancaman pidananya cukup berat: kurungan hingga 15 tahun dan denda sampai Rp15 miliar,” ujarnya.
Menurutnya, instruksi gubernur memang diperlukan untuk menghentikan pelanggaran hukum yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Namun ia menekankan, kebijakan sekeras ini harus diimbangi dengan kesiapan masyarakat dan fasilitas pendukung.
“Tetapi keluarnya instruksi ini harus dibarengi dengan kesiapan masyarakat. Edukasi dan penyuluhan kepada warga tentang pengelolaan sampah masih sangat minim, jauh panggang dari api. Kita harus duduk bersama agar instruksi ini tidak menimbulkan masalah baru,” terang Gus Adhi.
Ia mengingatkan bahwa paradigma pengelolaan sampah harus berubah dari sekadar memindahkan masalah ke upaya mengolah sampah sedekat mungkin dengan sumbernya. Ia menegaskan dirinya sejak lama mendorong pemanfaatan teknologi pengelolaan sampah saat masih berada di Komisi IV DPR RI.
“Sampah tidak boleh terus menjadi musibah. Sudah saatnya sampah menjadi berkah. Sejak dulu saya mendorong agar pengelolaan sampah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Bahkan saya sudah membawa teknologi pengelolaan sampah ke Bali saat di Komisi IV,” ungkapnya.
Terkait implementasi instruksi, ia mengingatkan pentingnya koordinasi antarlembaga agar kebijakan ini tidak menimbulkan persoalan baru, terutama dalam penegakan hukum.
“Sekarang bukan waktunya saling menyalahkan. Ini masalah bersama. Jika daerah, khususnya Badung dan Denpasar, belum siap, jangan dipaksakan dulu. Perlu ada komunikasi dengan aparat penegak hukum (Gakkum) dan pihak kehutanan untuk mencari solusi terbaik. Jika bicara hukum positif secara kaku, maka banyak pihak bisa terkena pidana. Karena itu pendekatan yang bijaksana lebih diutamakan,” tuturnya.
Ia juga menyoroti minimnya fasilitas pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga, kawasan permukiman, maupun tempat usaha. Keluhan sopir truk pengangkut sampah, yang meminta lokasi pembuangan dibuka kembali, menurutnya tidak bisa menjadi alasan untuk mengulang pelanggaran yang sama.
“Informasi yang saya terima dari para sopir truk pengangkut sampah, mereka meminta agar lokasi pembuangan dibuka kembali. Tapi membuka kembali tanpa sistem pengolahan hanya akan mengulangi pelanggaran pidana yang sama,” katanya.
Ia menekankan bahwa pemerintah harus menyediakan lokasi pembuangan yang jelas serta teknologi pengolahan yang memadai agar seluruh pihak dapat bekerja tanpa melanggar hukum.
“Jika ini tertata baik, sampah bisa menjadi berkah bagi Bali. Sopir truk tetap bisa bekerja, pemerintah tidak terjerat pelanggaran hukum, dan masyarakat mendapat manfaat,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan pentingnya penegakan regulasi oleh seluruh kepala daerah. Ia mengutip amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali yang menegaskan peran setara empat unsur utama pemerintahan Bali: gubernur, bupati/wali kota, desa adat, dan subak.
“Jika keempat unsur ini bersinergi, Bali akan aman. Desa adat bisa mengawasi masyarakat, subak mengurus pangan, dan pemerintah daerah mengatur administratifnya,” tegasnya.
Dengan sinergi itu, katanya, sampah organik dapat diolah menjadi pupuk untuk petani, sementara sampah non-organik dapat menjadi sumber pendapatan. Ia menyebut banyak pemulung telah merasakan manfaat ekonomi dari pengelolaan sampah yang lebih modern dan terarah.
Ia juga mengajak pemerintah dan masyarakat membaca regulasi secara lebih mendalam dan memahami dampak balik dari setiap kebijakan.
“Prinsip Tri Hita Karana jangan hanya menjadi slogan, tetapi menjadi bingkai perilaku, terutama dalam memberdayakan lingkungan,” tegasnya lagi.
Sebagai solusi praktis, ia mendorong edukasi pembuatan biopori modern bagi masyarakat yang memiliki lahan luas, sementara mereka yang tidak memiliki halaman membutuhkan alternatif pengelolaan lain yang harus dipastikan oleh pemerintah.
“Inilah tugas pemerintah: hadir, membangun, menggerakkan, dan memastikan anggaran benar-benar meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Gus Adhi kemudian memberikan pesan tegas untuk seluruh pemimpin daerah.
“Saya berharap para bupati, wali kota, dan gubernur, khususnya di Bali, kembali membangkitkan visi kepemimpinan mereka dan selalu mengingat pentingnya menjaga lingkungan,” pungkasnya.







0 comments:
Posting Komentar