Foto: Praktisi hukum, Ida Bagus Kiana, S.H.
Denpasar
Maraknya kepemilikan vila oleh warga negara asing (WNA) di Bali kembali menjadi sorotan publik. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang kepastian hukum dan ketegasan pemerintah dalam menegakkan aturan, terutama terkait legalitas pendirian bangunan di wilayah yang memiliki tata ruang ketat dan nilai-nilai kearifan lokal yang harus dijaga.
Praktisi hukum Ida Bagus Kiana, S.H., menegaskan bahwa dari sudut pandang hukum, kepemilikan atau pendirian vila oleh WNA pada dasarnya tidak menjadi masalah selama seluruh persyaratan formal terpenuhi.
“Pada prinsipnya, sepanjang semua persyaratan formal dipenuhi, mulai dari lokasi, perizinan, hingga legalitas lain yang dibutuhkan, itu tidak menjadi masalah. Namun, permasalahan muncul apabila proses pendiriannya tidak sesuai aturan yang berlaku di wilayah setempat,” ujarnya.
Ia menambahkan, persoalan yang timbul bukan hanya sebatas administratif, tetapi juga dapat berdampak luas terhadap lingkungan.
“Hal ini sangat berpengaruh, misalnya terhadap bencana banjir yang baru lalu. Sepanjang legalitas formalnya tidak jelas atau cacat hukum, kita harus berhati-hati dalam mengambil tindakan terhadap WNA,” tegasnya.
Menurutnya, banyak kasus di mana secara formal vila-vila milik WNA tampak sah karena telah memiliki sertifikat tanah dan izin mendirikan bangunan (IMB). Namun, ketika ditelusuri lebih dalam, proses perolehannya ternyata bermasalah.
“Contohnya, tanah negara yang secara diam-diam dialihkan dengan cara-cara tidak sah. Sering kali penegasan hak tanah cukup hanya dengan bukti pipil dan pembayaran pajak. Jika kepala desa mau mengeluarkan surat keterangan, maka hal itu bisa dipakai untuk mengurus sertifikat. Dari situ, keluarlah izin untuk mendirikan vila. Tetapi kenyataannya, jika proses itu cacat hukum, maka izin dan sertifikat tersebut pun bermasalah,” jelasnya.
Situasi seperti ini, lanjutnya, berpotensi menimbulkan citra buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia, khususnya Bali, di mata internasional.
“Inilah yang berbahaya. Orang asing bisa beranggapan bahwa hukum di Indonesia tidak tegak dan tidak konsisten. Mereka bisa merasa dirugikan dan menyampaikan hal ini ke luar negeri, yang pada akhirnya merusak citra penegakan hukum kita. Seperti yang pernah disampaikan Pak Yusril, hukum kita kadang multitafsir, dan itu yang dikhawatirkan,” ujarnya.
Ida Bagus Kiana, S.H. menilai, pemerintah perlu melakukan langkah serius dalam bentuk survei dan penelitian mendalam untuk menelusuri bagaimana tanah yang seharusnya dilindungi, seperti kawasan mangrove, bisa beralih menjadi milik pribadi, apalagi milik WNA.
“Pasti ada sesuatu yang tidak beres, dan inilah yang harus ditelusuri,” tambahnya.
Ia juga menegaskan bahwa akar persoalan bukan terletak pada tatanan hukum, melainkan pada oknum yang memiliki kewenangan dalam menerbitkan legalitas formal seperti sertifikat dan izin.
“Pada dasarnya bukan tataan hukumnya yang salah, melainkan oknum manusia yang menjalankan proses ini, yakni mereka yang punya kewenangan mengeluarkan legalitas formal seperti sertifikat maupun izin. Jadi, jangan langsung menyalahkan orang asing. Karena mereka akan berkata: ‘Saya punya sertifikat, saya punya izin, saya punya bukti. Mengapa sekarang muncul masalah?’” paparnya.
Ida Bagus Kiana kemudian mengingatkan agar pemerintah dan aparat penegak hukum bersikap cermat dan konsisten.
“Itulah yang dikhawatirkan. Jangan sampai mereka berbicara di luar negeri bahwa penegakan hukum di Indonesia, khususnya Bali, tidak berjalan baik,” tandasnya.







0 comments:
Posting Komentar