Ruang Ekspresi dari Bali

Jumat, 28 November 2025

Menteri ATR/BPN Tegaskan Moratorium Alih Fungsi Lahan di Bali, Yusdi Diaz: Bali Darurat Lahan Hijau, Saatnya Tata Kelola One Island One Management!

Foto: Pengamat pariwisata, Yusdi Diaz.

Denpasar (aspirasibali.my.id)

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid kembali mengeluarkan peringatan keras terkait maraknya alih fungsi lahan sawah di Bali. Peringatan ini disampaikan karena Bali dinilai jauh tertinggal dalam pemenuhan target Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025.

Nusron menegaskan bahwa LP2B atau area sawah mutlak harus mencapai minimal 87 persen dari total Lahan Baku Sawah (LBS). Namun berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali, angkanya baru berada di kisaran 62 persen. Kondisi tersebut membuat Bali masuk dalam kategori rawan alih fungsi lahan, terutama di tengah tekanan pembangunan yang terus meningkat.

“(Alih fungsi lahan) Bali ini salah satu yang berbahaya. Kenapa? Karena Perpres Nomor 12 Tahun 2025 mengatakan bahwa target LP2B itu harus 87 persen dari total LBS. Apa itu LP2B? Itu sawah forever, sawah yang tidak bisa diutak-atik seumur hidup,” ujar Nusron usai Munas Masyarakat Ahli Survei Kadaster Indonesia (Maski) di Sanur, Kota Denpasar, Selasa (25/11), seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Pernyataan tegas Menteri Nusron mendapat respons dari pengamat pariwisata Yusdi Diaz. Ia menyoroti bahwa Bali menghadapi ancaman serius apabila alih fungsi lahan terus dibiarkan. “Ada sebuah pepatah bijak: ketika sawah terakhir kita sudah berubah menjadi gedung dan beton, ketika sumber-sumber pangan kita hilang karena berubah fungsi, saat itulah kita sadar bahwa kita tidak bisa makan uang, secara harfiah,” ujarnya.

Yusdi menilai ketergantungan pada impor pangan adalah kondisi berbahaya. “Alih fungsi lahan kita sudah sangat mengerikan. Kita selama ini berpikir bahwa uang bisa menyelesaikan semuanya, termasuk mengimpor kebutuhan pangan. Tapi saat terjadi krisis pangan, setiap negara akan menahan stoknya. Kalau sudah begitu, kita yang kelabakan,” katanya.

Ia mendorong agar Bali segera menyiapkan lahan pangan baru dan memberlakukan moratorium dengan tegas. “Sudah waktunya kita kembali menyiapkan lahan-lahan baru. Tapi harus dengan bijak: jangan membuka lahan hanya untuk kemudian dikonversi lagi. Moratorium itu sebenarnya sudah saatnya. Kita sebagai pejabat daerah seharusnya malu kalau sampai harus ditegur oleh menteri atau pihak luar,” ujarnya.

“Masa kita tidak sadar bahwa kita sudah kebablasan?” tambahnya.

Menurut Yusdi, pembangunan Bali saat ini telah melewati batas kewajaran. “Pembangunan sudah cukup. Hotel terlalu banyak, sarana-prasarana pendukung juga berlebih. Semua ini menambah jumlah penduduk, sementara daya dukung dan sumber pangan kita justru berkurang,” tegasnya.

Situasi maraknya pelanggaran tata ruang juga kembali memunculkan wacana lama tentang perlunya menerapkan konsep One Island One Management atau satu pulau satu tata kelola, dengan seluruh perizinan ditarik ke tingkat provinsi. Menanggapi hal ini, Yusdi menyatakan bahwa konsep tersebut sangat relevan.

“Itu sebenarnya menjadi salah satu poin jika Bali ingin meminta atau memperjuangkan status sebagai daerah istimewa. Bali Daerah Istimewa, dengan konsep one island one management. Termasuk kewenangan perizinan, penindakan dan lain sebagainya,” ujarnya.

Menurutnya, Bali lebih ideal dikelola secara terpadu. “Pulau kita ini tidak terlalu luas, penduduknya juga tidak terlalu banyak dibandingkan provinsi lain. Maka lebih ideal jika dikelola secara terpadu. Tidak perlu ada daerah yang merasa paling berjasa atau paling dominan,” katanya.

Yusdi mencontohkan Kabupaten Badung yang dikenal sebagai pusat pendapatan Bali. “Misalnya Badung, yang memang punya pendapatan besar. Tetapi pemasukan itu juga tidak lepas dari kontribusi daerah lain. Bangli, misalnya. Kalau Danau Batur bermasalah, dampaknya bukan hanya bagi Bangli, tapi bagi Bali secara keseluruhan,” ungkapnya.

Ia juga menilai Pajak Hotel dan Restoran (PHR) semestinya dikelola satu pintu untuk pemerataan. “PHR juga harus satu tata kelola di provinsi untuk pemerataan pertumbuhan. Kasihan daerah yang selama ini menjadi pemasok pangan namun justru terpinggirkan karena dianggap hanya kawasan pertanian atau perkebunan,” ujarnya.

Yusdi menegaskan bahwa langkah ini menjadi tawaran rasional bagi masa depan tata ruang Bali. “Intinya sama, One Island One Management adalah tawaran yang masuk akal jika Bali serius memperjuangkan status Daerah Istimewa,” pungkasnya.

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Kategori

Arquivo do blog

Definition List

Support