BADUNG
Pertumbuhan pariwisata yang pesat di Kabupaten Badung diiringi tantangan serius berupa maraknya pelanggaran tata ruang dan menjamurnya akomodasi tanpa izin. Pengamat pariwisata yang juga Anggota DPRD Badung, I Wayan Puspa Negara, menilai kondisi ini merupakan konsekuensi dari pembangunan pariwisata yang berlangsung lebih cepat dibanding kesiapan infrastruktur dan pengawasan.
“Semua orang pernah berpikir bahwa Bali tumbuh menjadi destinasi internasional dengan infrastruktur yang terbatas. Oleh karena itu, timbullah persoalan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, salah satu teori pembangunan menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi biasanya diikuti tiga hal: munculnya kawasan kumuh, meningkatnya kriminalitas, dan kerusakan tata ruang. “Hal ini adalah keniscayaan. Dan kita sedang melihat itu terjadi di Badung,” tambahnya.
Puspa Negara mengakui, dari sisi regulasi, Bali sebenarnya sudah memiliki payung hukum, antara lain Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPARDA) dan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pariwisata Budaya Bali. Setiap kecamatan di Badung juga memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang mengatur kawasan yang boleh dibangun.
Selain itu, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terbaru, terdapat kawasan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang seharusnya bebas dari pembangunan. “Pelanggaran di area ini sebenarnya tindak pidana karena melanggar undang-undang tata ruang,” tegasnya.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan pelanggaran berlangsung masif. Puspa Negara menyebut ada dua penyebab utama:
1. Pengawasan terbatas. Pemerintah daerah, khususnya unit teknis, hanya bekerja dengan jam kerja konvensional. “Padahal pariwisata justru berkembang di hari libur. Pengawasan seharusnya dilakukan 24 jam dengan sistem tiga shift, bukan tujuh jam sehari,” katanya.
2. Penegakan hukum belum maksimal. “Regulasi ada, tapi law enforcement belum berjalan optimal. Kita butuh pengawasan yang intensif dan berkesinambungan,” ujarnya.
Ledakan akomodasi di Badung kian terlihat dari data yang diungkap Puspa Negara. Dari lebih dari 40 ribu izin usaha akomodasi yang tercatat, hanya sekitar 10 ribu yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD) dan Nomor Objek Pajak Daerah (NOPD). “Artinya, sekitar 30 ribu usaha belum punya NPWPD. Potensi pajak hotel, restoran, dan hiburan belum tergarap maksimal,” paparnya.
Masalah ini tidak hanya menyangkut pajak, tetapi juga pelanggaran tata ruang. Banyak yang menyoroti vila ilegal atau vila monong, namun sesungguhnya seluruh sektor akomodasi berpotensi bermasalah. Ia merinci lima jenis akomodasi yang menjamur di Badung:
1. Private villa, dibangun untuk kepemilikan pribadi tanpa izin.
2. Kondovilla, vila mirip kondotel yang bisa dijual atau disewakan.
3. Townhouse, seperti rumah kos wisatawan yang marak di Denpasar dan Badung.
4. Kondotel, apartemen sewa yang sering disalahgunakan selama masa visa wisatawan.
5. Strata title, terkait kebijakan golden visa, memungkinkan wisatawan tinggal 5+10 tahun.
Kawasan yang berkembang pesat meliputi Batu Belig, Berawa, Canggu, Munggu, Tibu Beneng, hingga Pantai Seseh. “Pertumbuhan ini sudah menggerus lahan pertanian kita,” tegasnya.
Puspa Negara mencontohkan langkah strategis yang telah dilakukan di Pantai Bingin, Pecatu, berupa inventarisasi akomodasi, penentuan langkah hukum, dan eksekusi di lapangan. Menurutnya, penertiban pascapandemi dapat menjadi peringatan bagi investor agar tidak bertindak semena-mena.
“Kita tidak perlu saling menyalahkan. Yang penting memperjelas peran setiap pihak agar tidak ada pembiaran terhadap pertumbuhan yang tidak terkendali ini,” ujarnya.
Ia menegaskan ada tiga langkah yang harus diperkuat:
1. Law enforcement atau penegakan aturan.
2. Supervisi, monitoring, dan evaluasi yang intensif.
3. Komunikasi dan koordinasi antara pemerintah, masyarakat, dan stakeholder pariwisata.
Puspa Negara juga mendorong adanya pertemuan rutin atau gathering bersama pelaku pariwisata. “Dengan duduk bersama, kita bisa lebih mudah mengidentifikasi pertumbuhan di lapangan,” pungkasnya.






.jpeg)
0 comments:
Posting Komentar