Ruang Ekspresi dari Bali

Sabtu, 11 Oktober 2025

Warga Ungasan Tuntut GWK Tepati Janji Lama: Akses Jalan Magadha Harus Dikembalikan Sesuai Kesepakatan 2007

Disel Astawa

Foto: Bendesa Adat Ungasan, I Wayan Disel Astawa, saat memberikan keterangan kepada awak media, Sabtu 11 Oktober 2025.

Badung 

Masyarakat Desa Adat Ungasan kembali menyuarakan penolakan terhadap kebijakan Manajemen Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang mengalihkan akses Jalan Magadha ke arah selatan. Meski tembok penghalang menuju Banjar Giri Dharma telah dibongkar, warga menilai langkah itu bukan solusi, melainkan bentuk pengingkaran atas perjanjian yang telah disepakati sejak tahun 2007.

Sikap resmi masyarakat Desa Adat Ungasan disampaikan melalui paruman yang digelar pada 4 Oktober 2025. Kemudian pada Sabtu (11/10), Bendesa Adat Ungasan, I Wayan Disel Astawa, membacakan 10 poin pernyataan sikap di Pura Dalem Desa Adat Ungasan. Dalam pernyataan itu, warga menegaskan bahwa apabila tuntutan mereka tidak direspons, masyarakat siap menduduki pintu depan kawasan GWK.

“Kami sudah pernah menyampaikan surat, namun hingga kini belum ada kejelasan. Yang kami harapkan adalah adanya ketegasan dari pihak terkait, karena pembongkaran yang dilakukan pihak GWK saat ini bukanlah solusi,” ujar Disel Astawa.

Ia menegaskan, lokasi yang kini digali bukan badan jalan sebagaimana tercantum dalam berita acara tertanggal 30 Oktober 2007.

Dalam berita acara tersebut, disebutkan bahwa PT GAIN, selaku pemilik awal kawasan GWK, bersama pengacaranya telah menyepakati pembukaan akses jalan selebar lima meter untuk kepentingan masyarakat Desa Adat Ungasan dan Banjar Giri Dharma. Namun, kesepakatan itu kini dianggap diabaikan setelah PT GAIN menjual lahan tersebut kepada pihak baru.

“Walaupun dijual, PT GAIN tidak bisa mengabaikan kesepakatan itu, karena badan hukum PT GAIN masih ada. Baik sebelum maupun sesudah akuisisi oleh Pak Nyoman Nuarta, komitmen itu harus tetap dijalankan. Jika tidak, berarti telah terjadi pelanggaran terhadap perjanjian yang sah bahkan bisa dikatakan inkonstitusional,” tegasnya.

Masyarakat Ungasan mendesak agar akses Jalan Magadha dikembalikan seperti semula, sesuai dengan isi kesepakatan tahun 2007. Mereka juga meminta agar lahan jalan tersebut dikeluarkan dari Hak Guna Bangunan (HGB) milik PT GAIN. 

“Yang kami tuntut adalah kejelasan hukum. Jalan yang kini ditutup tembok itu seharusnya digeser dan dikembalikan sebagai jalan umum. Kami punya data dan bukti yang jelas,” kata Disel Astawa.

Ia menambahkan, rekomendasi terkait pembukaan jalan sebenarnya sudah diterbitkan. Namun hingga kini belum dijalankan oleh pihak terkait. 

“Bola sekarang ada di tangan eksekutif. Persoalan ini sudah terlalu lama tertunda. Kami tetap berupaya menjalin komunikasi agar situasi tetap kondusif,” ujarnya.

Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali itu juga menegaskan bahwa masyarakat tidak berniat menentang pemerintah, melainkan hanya menuntut hak mereka atas akses jalan. 

“Kami tidak ingin dianggap keras terhadap pemerintah, tapi kalau tidak ada respons yang jelas, wajar kalau masyarakat bereaksi spontan,” katanya.

Sementara itu, Manajemen GWK dalam keterangan persnya pada Rabu (8/10) menyampaikan bahwa pihaknya telah menggeser tembok di sisi selatan kawasan dan tengah menyiapkan jalur pengalihan jalan sebagai akses alternatif bagi masyarakat Banjar Giri Dharma.

Langkah ini, menurut pihak GWK, merupakan bagian dari upaya harmonisasi antara pengelolaan kawasan pariwisata dengan kepentingan masyarakat lokal. Manajemen juga berkomitmen menyelesaikan proses penggeseran dan pembangunan jalan baru dalam dua hingga tiga minggu ke depan.

Meski demikian, masyarakat Ungasan menilai pengalihan jalan tersebut justru tidak sesuai dengan perjanjian awal karena memanfaatkan lahan warga lain yang telah dibangun. Warga tetap bersikeras agar Jalan Magadha menuju Pura Pengulapan dikembalikan sepenuhnya sebagaimana kesepakatan yang tercantum dalam berita acara tahun 2007.

Kini, nasib akses Jalan Magadha bergantung pada langkah cepat pemerintah dan pihak GWK dalam menindaklanjuti rekomendasi yang sudah ada. Warga berharap penyelesaian segera dilakukan agar situasi tetap kondusif dan hak masyarakat atas akses jalan tidak kembali terabaikan.

Share:

Rabu, 08 Oktober 2025

Alih Fungsi Lahan di Bali Kian Masif, Puspanegara Desak Pengawasan dan Penegakan Hukum Diperkuat

Foto: Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Badung yang juga Ketua Fraksi Gerindra, I Wayan Puspanegara, SP., M.Si.

Badung 

Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Badung yang juga Ketua Fraksi Gerindra, I Wayan Puspanegara, SP., M.Si., menyoroti semakin masifnya alih fungsi lahan di Bali yang kini dinilai sudah berada pada tingkat mengkhawatirkan. Ia menegaskan, kondisi ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam tata kelola ruang yang belum tertangani dengan baik.

“Kita melihat bersama bahwa alih fungsi lahan di Bali saat ini terjadi begitu masif. Pemerintah tampaknya kesulitan menahan lajunya. Hal ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam tata kelola ruang kita,” ujar Puspanegara.

Menurutnya, penyebab utama maraknya alih fungsi lahan adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak terkendali. Dorongan pembangunan datang tidak hanya dari sektor pariwisata, tetapi juga dari meningkatnya kebutuhan tempat tinggal seiring pertumbuhan penduduk. Akibatnya, pengaplingan lahan secara besar-besaran untuk pembangunan perumahan terjadi hampir di setiap wilayah.

Selain itu, pembangunan untuk kepentingan pariwisata juga kerap melanggar ketentuan tata ruang yang berlaku. Banyak pihak mendirikan akomodasi dan fasilitas pendukung hanya karena mengikuti tren tanpa memperhatikan status lahannya. “Banyak orang membangun hanya karena melihat tetangganya juga membangun. Padahal, sebagian kawasan itu termasuk dalam kategori lahan sawah dilindungi (LSD) atau lahan pertanian produktif berkelanjutan (LP2B). Tak jarang lahan-lahan tersebut berubah fungsi menjadi area wisata atau tempat usaha,” ungkapnya.

Puspanegara menilai, akar masalah sesungguhnya terletak pada lemahnya supervisi dan penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang. “Alih fungsi lahan yang masif terjadi karena lemahnya pengawasan dan penegakan aturan. Banyak orang berpikir, ‘di sebelah boleh membangun, kenapa saya tidak?’ Padahal mungkin lahannya termasuk kawasan hijau, LSD, atau LP2B,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa meski pemilik tanah memiliki hak keperdataan untuk memanfaatkan lahannya, hak tersebut tidak boleh dijalankan tanpa memperhatikan aturan tata ruang yang telah ditetapkan. “Pemerintah perlu membuat kebijakan yang adil agar kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan bisa seimbang,” katanya.

Lebih lanjut, Puspanegara menekankan bahwa sebenarnya Bali sudah memiliki perangkat hukum yang cukup jelas untuk mengatur tata ruang. Mulai dari RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) di tingkat provinsi, RTRK di tingkat kabupaten, hingga RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) sebagai turunannya. Semua dokumen tersebut telah menentukan zona mana yang boleh dibangun dan mana yang wajib dilindungi, termasuk kawasan LSD, LP2B, jalur hijau, konservasi, dan area rawan bencana seperti jurang.

“Masalahnya bukan pada aturan, tetapi pada pelaksanaannya. Di sinilah kita perlu memperkuat dua hal penting: supervisi dan penegakan hukum terhadap tata ruang kita,” tutupnya.


Share:

Selasa, 07 Oktober 2025

Menpar Sebut Penglipuran Adalah Laboratorium Hidup Pariwisata Berkelanjutan


Foto: Istimewa

Bangli

Desa Penglipuran di Kabupaten Bangli tak lagi sekadar etalase desa wisata Bali. Kini, desa yang dikenal karena kebersihan dan keteraturan tata ruangnya itu melangkah lebih jauh dengan menerapkan konsep pariwisata regeneratif, sebuah pendekatan yang tak hanya menjaga alam dan budaya, tapi juga memperbaikinya bagi generasi mendatang.

Menteri Pariwisata Republik Indonesia, Widiyanti Putri Wardhani, menyebut Penglipuran sebagai “laboratorium hidup pariwisata berkelanjutan Indonesia.” Predikat itu bukan tanpa alasan. Desa ini memadukan filosofi konservasi dan kesejahteraan secara nyata di lapangan.

Ciri khas Penglipuran tampak dari tata ruangnya yang simetris, kebersihan yang nyaris sempurna, dan hutan bambu seluas 75 hektare yang dikelola mandiri oleh warga. Hutan itu menjadi sumber kehidupan: menjaga keseimbangan ekologi sekaligus mendatangkan ribuan wisatawan tiap bulan.

Dari sinilah lahir gagasan baru: konservasi tak harus mengorbankan ekonomi. Di Penglipuran, menjaga alam berarti menumbuhkan kesejahteraan.

“Penglipuran berhasil menjaga harmoni antara alam, budaya, dan ekonomi. Inilah arah baru pariwisata Indonesia,” ujar Widiyanti dalam kunjungan kerja, Selasa, 30 September 2025.

Di jantung desa berdiri Pasar Penglipuran, pusat ekonomi yang sepenuhnya dikelola masyarakat. Di sana, wisatawan dapat menemukan kerajinan bambu, kuliner tradisional, hingga kain khas Bali yang dijual langsung oleh warga. Tak ada investor besar, tak ada rantai distribusi panjang. Semua keuntungan kembali ke desa, membentuk ekonomi sirkular berbasis komunitas.

“Bagi kami, yang penting bukan sekadar ramai dikunjungi, tapi lestari. Kami ingin desa ini tetap hidup dan menjadi inspirasi,” kata Wayan Sumiarsa, pengelola Desa Penglipuran.

Selain panorama dan kearifan lokal, Penglipuran menawarkan pengalaman budaya yang interaktif. Wisatawan dapat belajar membuat canang sari, melukis di atas bambu, atau mencicipi Loloh Cemcem dan Kelopon Ketela Ungu, dua kuliner khas yang kini digemari turis mancanegara.

Pariwisata di Penglipuran bukan sekadar hiburan, tapi juga ruang pembelajaran tentang filosofi keseimbangan hidup Bali: palemahan, pawongan, dan parahyangan.

Penglipuran kini menjadi contoh konkret bahwa pariwisata tidak harus eksploitatif. Dengan menggabungkan prinsip ekologis, budaya, dan ekonomi lokal, desa ini membalikkan paradigma lama, dari industri yang menghabiskan menjadi industri yang membangun kembali.

Bagi banyak pihak, Penglipuran bukan hanya destinasi, tapi simbol kebangkitan cara berpikir baru dalam pariwisata Indonesia: bahwa keberlanjutan sejati hanya bisa lahir dari kemandirian dan kesadaran kolektif warga.

Share:

BMKG Peringatkan Potensi Banjir Rob di Bali, 7–11 Oktober 2025

Foto: Istimewa.

Denpasar

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini terkait potensi banjir rob yang dapat melanda wilayah pesisir Bali pada 7–11 Oktober 2025. Fenomena ini dipicu oleh fase Perigee—saat jarak antara bulan dan bumi berada pada titik terdekat.

Kepala Balai Besar MKG Wilayah III Denpasar, Cahyo Nugroho, menjelaskan bahwa fase Perigee bertepatan dengan bulan purnama yang jatuh pada 7 Oktober 2025. Kombinasi keduanya dapat meningkatkan tinggi muka air laut secara signifikan.

“Adanya fenomena fase Perigee dan bulan purnama berpotensi meningkatkan ketinggian air laut maksimum pada 7–11 Oktober 2025,” ujar Cahyo saat dihubungi, Senin, 6 Oktober 2025.

Hasil pemantauan data water level dan prediksi pasang surut BMKG menunjukkan, sejumlah kawasan pesisir Bali berpotensi mengalami banjir rob. Di antaranya Pesisir Gianyar, Pesisir Kuta (Badung), Pesisir Tabanan, Pesisir Klungkung, dan Pesisir Karangasem.

Menurut Cahyo, waktu kejadian pasang maksimum akan berbeda di tiap daerah, tergantung kondisi topografi dan pasang harian laut setempat. “Dampaknya dapat dirasakan pada aktivitas masyarakat pesisir, seperti bongkar muat di pelabuhan, aktivitas perikanan darat, tambak garam, hingga permukiman di tepi pantai,” katanya.

BMKG mengimbau masyarakat dan otoritas pelabuhan agar mewaspadai kenaikan muka air laut selama periode tersebut. Pemerintah daerah diharapkan memperhatikan kondisi cuaca dan gelombang sebelum mengizinkan aktivitas laut, terutama di wilayah yang rawan genangan.

Fenomena Perigee merupakan peristiwa astronomis yang terjadi secara berkala setiap 27–28 hari. Namun, ketika bertepatan dengan fase bulan purnama, efek gravitasinya terhadap pasang surut laut bisa meningkat dan memicu banjir rob di kawasan pesisir rendah.

Bali kerap menghadapi ancaman banjir rob saat fase bulan purnama beriringan dengan Perigee. Meski sifatnya sementara, dampaknya nyata bagi masyarakat pesisir yang bergantung pada aktivitas laut. BMKG meminta warga tetap waspada, bukan panik.

Share:

Belum Ada Lokasi, Bandara Bali Utara Masih di Atas Kertas? Ini Penjelasan Dishub Prov. Bali


Foto: Istimewa.

Denpasar

Isu pembangunan Bandara Bali Utara kembali mengemuka setelah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Sejumlah pihak menafsirkan beleid itu sebagai sinyal bahwa lokasi bandara telah ditentukan. Namun, Pemerintah Provinsi Bali membantah klaim tersebut.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Bali, Nusakti Yasa Weda, menegaskan bahwa Perpres 12/2025 tidak menyebutkan secara eksplisit di mana bandara akan dibangun. “Pencantuman Bandara Internasional Bali Baru atau Bali Utara di dalam Perpres sifatnya masih berupa arahan,” kata Nusakti, Senin, 6 Oktober 2025.

Dalam Lampiran IV Perpres 12/2025 tentang Arah Pembangunan Kewilayahan Provinsi Bali, pemerintah pusat memang mencantumkan sejumlah proyek strategis, salah satunya pembangunan Bandara Internasional Bali Baru/Bali Utara. Namun, dokumen tersebut tidak memuat penetapan lokasi, nama resmi, atau waktu pelaksanaan proyek.


Masih Perlu Kajian dan Lahan yang Jelas

Menurut Nusakti, penentuan lokasi bandara baru tidak bisa dilakukan tanpa kajian komprehensif dan ketersediaan lahan yang sudah pasti. “Penetapan lokasi wajib mengikuti ketentuan peraturan perundangan, termasuk studi kelayakan teknis dan operasional sesuai standar International Civil Aviation Organisation (ICAO),” ujarnya.

Ia menambahkan, proyek sebesar bandara internasional tidak bisa berdiri hanya berdasarkan arahan kebijakan. Diperlukan studi kelayakan, master plan, dan penguasaan lahan yang sah sebelum pemerintah bisa melangkah lebih jauh. “Kalau lahan belum ada, lokasi belum ditetapkan, berarti masih jauh dari tahap pembangunan,” kata dia.


Deretan Proyek Strategis di Pulau Dewata

Selain bandara, Perpres 12/2025 juga mencantumkan sejumlah proyek besar di Bali, mulai dari Tol Gilimanuk–Mengwi, rencana Tol Singapadu–Ubud–Bangli–Kintamani menuju Bandara Bali Utara, hingga Pusat Kebudayaan Bali di Klungkung. Ada pula pengembangan Pelabuhan Gunaksa, Kawasan Perdesaan Shiny di Tabanan, serta program pengurangan risiko bencana Gunung Agung.

Daftar proyek tersebut menunjukkan arah pembangunan Bali yang semakin mengedepankan pemerataan antarwilayah. Namun, tanpa kepastian lokasi dan studi mendalam, proyek bandara di Bali Utara masih sebatas rencana di atas kertas.


Arah Politik Pembangunan

Isu bandara Bali Utara sejatinya bukan hal baru. Gagasan ini telah muncul sejak satu dekade lalu, namun selalu terbentur masalah lokasi dan kelayakan lingkungan. Pemerintah pusat kini kembali menghidupkannya lewat Perpres 12/2025—tapi tanpa kepastian eksekusi.

Bagi Pemerintah Provinsi Bali, kehati-hatian menjadi kunci. “Kami akan mengikuti setiap proses sesuai aturan agar pembangunan yang dilakukan benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat,” ujar Nusakti.

Sementara publik menunggu kejelasan, proyek bandara Bali Utara masih terbang di udara — belum menemukan landasan.

Share:

Senin, 06 Oktober 2025

Praktisi Hukum Ida Bagus Kiana, S.H. Soroti Kepemilikan Vila WNA di Bali, Ingatkan Bahaya Legalitas Cacat Hukum


Foto: Praktisi hukum, Ida Bagus Kiana, S.H.

Denpasar

Maraknya kepemilikan vila oleh warga negara asing (WNA) di Bali kembali menjadi sorotan publik. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang kepastian hukum dan ketegasan pemerintah dalam menegakkan aturan, terutama terkait legalitas pendirian bangunan di wilayah yang memiliki tata ruang ketat dan nilai-nilai kearifan lokal yang harus dijaga.

Praktisi hukum Ida Bagus Kiana, S.H., menegaskan bahwa dari sudut pandang hukum, kepemilikan atau pendirian vila oleh WNA pada dasarnya tidak menjadi masalah selama seluruh persyaratan formal terpenuhi. 

“Pada prinsipnya, sepanjang semua persyaratan formal dipenuhi, mulai dari lokasi, perizinan, hingga legalitas lain yang dibutuhkan, itu tidak menjadi masalah. Namun, permasalahan muncul apabila proses pendiriannya tidak sesuai aturan yang berlaku di wilayah setempat,” ujarnya.

Ia menambahkan, persoalan yang timbul bukan hanya sebatas administratif, tetapi juga dapat berdampak luas terhadap lingkungan.

 “Hal ini sangat berpengaruh, misalnya terhadap bencana banjir yang baru lalu. Sepanjang legalitas formalnya tidak jelas atau cacat hukum, kita harus berhati-hati dalam mengambil tindakan terhadap WNA,” tegasnya.

Menurutnya, banyak kasus di mana secara formal vila-vila milik WNA tampak sah karena telah memiliki sertifikat tanah dan izin mendirikan bangunan (IMB). Namun, ketika ditelusuri lebih dalam, proses perolehannya ternyata bermasalah.

 “Contohnya, tanah negara yang secara diam-diam dialihkan dengan cara-cara tidak sah. Sering kali penegasan hak tanah cukup hanya dengan bukti pipil dan pembayaran pajak. Jika kepala desa mau mengeluarkan surat keterangan, maka hal itu bisa dipakai untuk mengurus sertifikat. Dari situ, keluarlah izin untuk mendirikan vila. Tetapi kenyataannya, jika proses itu cacat hukum, maka izin dan sertifikat tersebut pun bermasalah,” jelasnya.

Situasi seperti ini, lanjutnya, berpotensi menimbulkan citra buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia, khususnya Bali, di mata internasional.

 “Inilah yang berbahaya. Orang asing bisa beranggapan bahwa hukum di Indonesia tidak tegak dan tidak konsisten. Mereka bisa merasa dirugikan dan menyampaikan hal ini ke luar negeri, yang pada akhirnya merusak citra penegakan hukum kita. Seperti yang pernah disampaikan Pak Yusril, hukum kita kadang multitafsir, dan itu yang dikhawatirkan,” ujarnya.

Ida Bagus Kiana, S.H. menilai, pemerintah perlu melakukan langkah serius dalam bentuk survei dan penelitian mendalam untuk menelusuri bagaimana tanah yang seharusnya dilindungi, seperti kawasan mangrove, bisa beralih menjadi milik pribadi, apalagi milik WNA. 

“Pasti ada sesuatu yang tidak beres, dan inilah yang harus ditelusuri,” tambahnya.

Ia juga menegaskan bahwa akar persoalan bukan terletak pada tatanan hukum, melainkan pada oknum yang memiliki kewenangan dalam menerbitkan legalitas formal seperti sertifikat dan izin. 

“Pada dasarnya bukan tataan hukumnya yang salah, melainkan oknum manusia yang menjalankan proses ini, yakni mereka yang punya kewenangan mengeluarkan legalitas formal seperti sertifikat maupun izin. Jadi, jangan langsung menyalahkan orang asing. Karena mereka akan berkata: ‘Saya punya sertifikat, saya punya izin, saya punya bukti. Mengapa sekarang muncul masalah?’” paparnya.

Ida Bagus Kiana kemudian mengingatkan agar pemerintah dan aparat penegak hukum bersikap cermat dan konsisten.

 “Itulah yang dikhawatirkan. Jangan sampai mereka berbicara di luar negeri bahwa penegakan hukum di Indonesia, khususnya Bali, tidak berjalan baik,” tandasnya.

Share:

Niluh Djelantik Soroti Maraknya Akomodasi Ilegal di Bali: “Bali Bagai Ibu yang Tercampakkan”



Foto: Senator DPD RI Dapil Bali, Niluh Djelantik.

Denpasar

Temuan Kementerian Pariwisata terkait ribuan akomodasi wisata tanpa legalitas di Bali kembali memicu sorotan tajam terhadap lemahnya pengawasan sektor pariwisata di daerah ini. Salah satu yang paling vokal menanggapi persoalan tersebut adalah Senator DPD RI Dapil Bali, yang juga aktivis dan pengusaha fesyen, Niluh Djelantik.

Sebelumnya, Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenpar, Rizki Handayani, mengungkapkan masih banyak usaha akomodasi di Bali yang beroperasi tanpa izin resmi. “Hal ini memicu persaingan usaha tidak sehat, menurunkan kualitas layanan wisatawan, sekaligus menimbulkan risiko hukum dan keamanan,” ujar Rizki, Sabtu (4/10).

Kemenpar mencatat sedikitnya 2.612 unit akomodasi nonresmi atau ilegal telah teridentifikasi di Bali. Pemerintah daerah kini tengah melakukan klarifikasi dan verifikasi terhadap unit-unit tersebut untuk memastikan legalitasnya. Rizki menegaskan, ke depan seluruh akomodasi yang terdaftar di Online Travel Agent (OTA) wajib memiliki izin resmi melalui sistem Online Single Submission (OSS).

“Legalitas usaha harus jelas agar seluruh pihak terlindungi,” ujarnya. Pemerintah pusat pun akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menyusun regulasi yang lebih ketat mengenai perizinan akomodasi wisata, disertai pendampingan melalui coaching clinic OSS.

Namun, di tengah upaya pembenahan tersebut, Niluh Djelantik menumpahkan keprihatinannya melalui unggahan di media sosial. Dengan nada emosional, ia menulis, “BALI BAGAI IBU YANG TERCAMPAKKAN.”

Menurut Niluh Djelantik, di daerah lain, kolaborasi antara eksekutif dan legislatif berjalan harmonis demi kemajuan daerah. Tetapi di Bali, ujar dia, dirinya justru kerap dijadikan “musuh bersama” ketika menyuarakan kritik atas maraknya praktik usaha ilegal, terutama yang melibatkan warga negara asing (WNA).

“Semua masukan dan kritikan yang kusampaikan adalah bagian dari upaya menjaga hak warga Bali yang periuk nasinya sudah direbut dengan ugal-ugalan oleh WNA dan oknum warga lokal yang diajak bekerja sama,” tulisnya.

Ia menambahkan, ketika memperjuangkan hak masyarakat Bali, dirinya berulang kali menghadapi somasi dan laporan polisi, baik dari WNA maupun oknum pejabat. 

“Nih lihat berita malam ini. Paham mengapa Mbok konsisten menuntut agar aturan ditegakkan. Kalau sudah begini, mau apa? Di mana mata, hati, dan telinga yang kemarin menghujat Mbok Niluh?” ujarnya.

Niluh Djelantik mengaku telah belasan tahun berjuang sendirian menyuarakan pelanggaran-pelanggaran tersebut, hanya ditemani dukungan warganet. Ia menilai banyak pejabat baru bersuara setelah kondisi Bali memburuk. 

“Saat kondisi sudah parah baru berteriak Bali tidak baik-baik saja, sebelumnya justru sering mengecam Niluh Djelantik agar jangan keras-keras menindak WNA ilegal,” katanya.

Dalam unggahannya, Niluh Djelantik juga menantang pemerintah untuk menunjukkan keberanian dalam menindak tegas pelaku usaha ilegal.

 “Ayo tunjukkan nyali, data dan sidak semua usaha milik WNA yang tidak sah atau ilegal. Mbok bantu dan temani kalian,” tegasnya.

Niluh Djelantik menegaskan bahwa tingkat tekanan hidup masyarakat yang meningkat, hingga menjadikan Bali salah satu daerah dengan angka bunuh diri tertinggi di Indonesia, harus menjadi alarm bagi pemerintah.

 “Jangan tunggu Bali hancur lebur. Artinya, ada yang keliru dalam mengelola Bali,” tulisnya.

Share:

Cegah Keracunan MBG, Certified Food Safety Instructor Daniel: Perlu Pengawasan Ketat Keamanan Pangan, Standar Pengolahan Harus Ditingkatkan



Foto: Certified Food Safety Instructor, Daniel Paulus Ferdinand

Denpasar

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi langkah strategis untuk membangun sumber daya manusia (SDM) unggul melalui pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Program ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas kesehatan generasi muda Indonesia agar lebih produktif dan kompetitif di masa depan.

Namun, di tengah tujuan mulia tersebut, implementasi program di sejumlah daerah masih dihadapkan pada persoalan serius. Beberapa kasus keracunan makanan yang terjadi di lapangan menjadi sinyal kuat bahwa aspek keamanan pangan (food safety) belum sepenuhnya diperhatikan secara menyeluruh.

Menurut  Certified Food Safety Instructor, Daniel Paulus Ferdinand, isu keamanan pangan seharusnya menjadi perhatian utama dalam pelaksanaan program makan bergizi di seluruh wilayah Indonesia.

“Terkait dengan program MBG dari pemerintah, di beberapa daerah, khususnya di luar Bali, sempat terjadi kasus keracunan makanan. Menurut analisis saya, sejak kasus itu muncul, baik dari stakeholder maupun pemerintah, belum ada yang menyoroti secara serius isu mengenai food safety atau keamanan pangan. Padahal, hal ini sangat penting, terutama dalam pengolahan makanan, karena berkaitan langsung dengan pencegahan foodborne illness atau penyakit yang disebabkan oleh makanan,” ujar Daniel.

Daniel menjelaskan, ada empat faktor utama yang harus diperhatikan dalam menjaga keamanan pangan, terutama dalam konteks program berskala nasional seperti MBG.

Pertama, faktor food hazard atau bahaya pada makanan.  Bahaya ini terbagi menjadi empat jenis. Bahaya biologis berasal dari bakteri akibat penyimpanan yang tidak benar, sedangkan bahaya kimia bisa disebabkan oleh residu pestisida pada buah atau sayur yang tidak dicuci sesuai prosedur. Selain itu, terdapat bahaya fisik seperti adanya benda asing, misalnya batu, pecahan kaca, atau logam, yang bisa masuk ke makanan selama proses produksi. Faktor terakhir adalah alergen, yang sering kali diabaikan, padahal dapat menimbulkan reaksi serius hingga kematian, terutama bagi anak-anak sekolah yang jumlahnya mencapai jutaan di Indonesia.

Kedua, suhu pengolahan makanan. Daniel menegaskan pentingnya pengawasan suhu karena menjadi titik krusial dalam mencegah pertumbuhan bakteri.

“Makanan panas harus disimpan di atas 60°C, sedangkan makanan dingin harus di bawah 5°C. Suhu antara 5°C hingga 60°C dikenal sebagai food danger zone, di mana bakteri bisa berkembang biak sangat cepat. Dalam waktu empat jam, bakteri dapat berkembang dari dua menjadi empat, delapan, dan seterusnya. Contoh bakteri yang sering ditemukan adalah Salmonella serta jamur penyebab penyakit lainnya,” jelasnya.

Ketiga, sumber daya manusia (SDM). Tenaga pengolah makanan, menurut Daniel, seharusnya memiliki sertifikasi keamanan pangan yang tidak hanya bersifat formalitas.

“Mereka harus benar-benar memahami konsep foodborne illness dan potential hazardous food. Di industri kapal pesiar, misalnya, pekerja wajib memiliki sertifikasi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang membekali mereka kemampuan menganalisis risiko sebelum memasak dan menangani makanan,” katanya.

Keempat, kebersihan pribadi (personal hygiene) pekerja. Daniel menekankan bahwa kebersihan diri adalah hal mendasar yang tidak boleh diabaikan.

“Prosedur standar seperti mencuci tangan dengan benar, penggunaan hand sanitizer di dapur, serta menjaga kebersihan area kerja harus ditegakkan. Pekerja yang sedang sakit, terutama dengan penyakit menular seperti diare, tidak diperbolehkan bekerja agar tidak menimbulkan cross contamination atau kontaminasi silang pada makanan,” tegasnya.

Dengan memperhatikan keempat aspek tersebut, lanjut Daniel, keamanan pangan dalam program MBG dapat lebih terjamin. Pengawasan yang ketat terhadap standar pengolahan makanan dinilai krusial agar kasus keracunan tidak kembali terulang di masa depan.

“Dengan memperhatikan keempat faktor tersebut, keamanan pangan dalam program MBG dapat lebih terjamin, sehingga kasus keracunan makanan dapat dicegah sejak awal,” pungkasnya.
Share:

Selasa, 05 Agustus 2025

Ledakan Akomodasi di Badung Picu Pelanggaran Tata Ruang, Puspa Negara Ingatkan Pentingnya Pengawasan 24 Jam

 


BADUNG

Pertumbuhan pariwisata yang pesat di Kabupaten Badung diiringi tantangan serius berupa maraknya pelanggaran tata ruang dan menjamurnya akomodasi tanpa izin. Pengamat pariwisata yang juga Anggota DPRD Badung, I Wayan Puspa Negara, menilai kondisi ini merupakan konsekuensi dari pembangunan pariwisata yang berlangsung lebih cepat dibanding kesiapan infrastruktur dan pengawasan.

“Semua orang pernah berpikir bahwa Bali tumbuh menjadi destinasi internasional dengan infrastruktur yang terbatas. Oleh karena itu, timbullah persoalan,” ujarnya.

Ia menjelaskan, salah satu teori pembangunan menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi biasanya diikuti tiga hal: munculnya kawasan kumuh, meningkatnya kriminalitas, dan kerusakan tata ruang. “Hal ini adalah keniscayaan. Dan kita sedang melihat itu terjadi di Badung,” tambahnya.

Puspa Negara mengakui, dari sisi regulasi, Bali sebenarnya sudah memiliki payung hukum, antara lain Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPARDA) dan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pariwisata Budaya Bali. Setiap kecamatan di Badung juga memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang mengatur kawasan yang boleh dibangun.

Selain itu, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terbaru, terdapat kawasan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang seharusnya bebas dari pembangunan. “Pelanggaran di area ini sebenarnya tindak pidana karena melanggar undang-undang tata ruang,” tegasnya.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan pelanggaran berlangsung masif. Puspa Negara menyebut ada dua penyebab utama:

1. Pengawasan terbatas. Pemerintah daerah, khususnya unit teknis, hanya bekerja dengan jam kerja konvensional. “Padahal pariwisata justru berkembang di hari libur. Pengawasan seharusnya dilakukan 24 jam dengan sistem tiga shift, bukan tujuh jam sehari,” katanya.

2. Penegakan hukum belum maksimal. “Regulasi ada, tapi law enforcement belum berjalan optimal. Kita butuh pengawasan yang intensif dan berkesinambungan,” ujarnya.

Ledakan akomodasi di Badung kian terlihat dari data yang diungkap Puspa Negara. Dari lebih dari 40 ribu izin usaha akomodasi yang tercatat, hanya sekitar 10 ribu yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD) dan Nomor Objek Pajak Daerah (NOPD). “Artinya, sekitar 30 ribu usaha belum punya NPWPD. Potensi pajak hotel, restoran, dan hiburan belum tergarap maksimal,” paparnya.

Masalah ini tidak hanya menyangkut pajak, tetapi juga pelanggaran tata ruang. Banyak yang menyoroti vila ilegal atau vila monong, namun sesungguhnya seluruh sektor akomodasi berpotensi bermasalah. Ia merinci lima jenis akomodasi yang menjamur di Badung:


1. Private villa, dibangun untuk kepemilikan pribadi tanpa izin.

2. Kondovilla, vila mirip kondotel yang bisa dijual atau disewakan.

3. Townhouse, seperti rumah kos wisatawan yang marak di Denpasar dan Badung.

4. Kondotel, apartemen sewa yang sering disalahgunakan selama masa visa wisatawan.

5. Strata title, terkait kebijakan golden visa, memungkinkan wisatawan tinggal 5+10 tahun.


Kawasan yang berkembang pesat meliputi Batu Belig, Berawa, Canggu, Munggu, Tibu Beneng, hingga Pantai Seseh. “Pertumbuhan ini sudah menggerus lahan pertanian kita,” tegasnya.

Puspa Negara mencontohkan langkah strategis yang telah dilakukan di Pantai Bingin, Pecatu, berupa inventarisasi akomodasi, penentuan langkah hukum, dan eksekusi di lapangan. Menurutnya, penertiban pascapandemi dapat menjadi peringatan bagi investor agar tidak bertindak semena-mena.

“Kita tidak perlu saling menyalahkan. Yang penting memperjelas peran setiap pihak agar tidak ada pembiaran terhadap pertumbuhan yang tidak terkendali ini,” ujarnya.

Ia menegaskan ada tiga langkah yang harus diperkuat:

1. Law enforcement atau penegakan aturan.

2. Supervisi, monitoring, dan evaluasi yang intensif.

3. Komunikasi dan koordinasi antara pemerintah, masyarakat, dan stakeholder pariwisata.

Puspa Negara juga mendorong adanya pertemuan rutin atau gathering bersama pelaku pariwisata. “Dengan duduk bersama, kita bisa lebih mudah mengidentifikasi pertumbuhan di lapangan,” pungkasnya.

Share:

Senin, 04 Agustus 2025

Bintang Puspayoga, Satu-Satunya Kader Bali di DPP PDI P 2025–2030, Lanjutkan Misi Perempuan Berdaya

 


Badung

 I Gusti Ayu Bintang Darmawati atau yang akrab disapa Bintang Puspayoga menjadi satu-satunya kader PDI Perjuangan asal Bali yang dipercaya menduduki jabatan strategis di jajaran pengurus DPP PDI Perjuangan periode 2025–2030. Pengumuman dan pelantikan pengurus baru dilakukan langsung oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam Kongres VI PDIP yang digelar di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Kecamatan Kuta Selatan, Badung, Sabtu (2/8).

Bintang Puspayoga kembali dipercaya menjabat sebagai Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP PDIP—jabatan yang juga ia emban selama masa perpanjangan kepengurusan 2019–2024 yang berlangsung hingga pertengahan 2025. Dalam struktur baru yang berisi 37 orang, ia menjadi satu-satunya wakil Bali, menggantikan nama-nama senior seperti I Made Urip yang tidak lagi masuk dalam susunan pengurus karena alasan usia.

Menanggapi kepercayaan ini, Bintang mengaku siap melanjutkan amanah partai tanpa beban, berbekal pengalaman panjang dalam isu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. "Karena lima tahun sebelumnya, saya telah diamanahkan sebagai Menteri PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Saat perpanjangan satu tahun kepengurusan kemarin, saya dipercaya pula di posisi itu, sehingga tidak merasa terbebani," ujar Bintang saat dihubungi, Sabtu (2/8).

Program andalan Perempuan Berdaya Indonesia Raya akan kembali menjadi prioritas utama dalam masa baktinya lima tahun ke depan. Program ini telah dijalankan selama satu tahun terakhir secara gotong royong dan kolaboratif. Bintang menggandeng pengurus perempuan DPP PDIP lainnya, serta bersinergi dengan tiga pilar partai—yakni struktural, legislatif, dan eksekutif—hingga ke tingkat anak ranting.

"Karena dipercaya lagi di posisi itu, program tersebut kami lanjutkan. Itu juga merupakan arahan dari Ibu Ketum. Pastinya, kami melaksanakan arahan itu. Turun ke bawah, betul-betul merasakan apa yang dirasakan rakyat, khususnya di bidang perempuan dan anak. Ya, kami turun ke akar rumput, menangis dan tertawa dengan rakyat," ujarnya.

Dalam praktiknya, Bintang telah turun langsung ke berbagai daerah untuk mendampingi dan mengedukasi masyarakat dalam isu-isu strategis seperti pencegahan stunting, kekerasan terhadap perempuan dan anak, pendampingan disabilitas, pemberantasan buta huruf, hingga penguatan ekonomi perempuan.

"Program terintegrasi seperti itu, sudah kami laksanakan di 10 provinsi selama perpanjangan kepengurusan kemarin. Ketika dipercaya lagi di kepengurusan DPP, maka program tersebut menjadi prioritas yang akan dikerjakan ke depannya. Apalagi, itu merupakan instruksi langsung Ibu Ketum. Intinya, kami turun ke bawah," tegasnya.

Di Bali sendiri, program ini telah menyasar hampir seluruh kabupaten/kota. Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Tabanan menjadi tuan rumah pelaksanaan, sementara enam kabupaten lainnya ikut serta melalui sinergi dengan wilayah terdekat. “Jadi, hampir sembilan kabupaten/kota sudah kami edukasi terkait Perempuan Berdaya Indonesia Raya,” tambahnya.

Bintang juga menekankan pentingnya pelibatan kader hingga ke tingkat akar rumput dalam menyebarluaskan semangat program ini. “Peserta dari program itu diharapkan untuk menggeliatkan program tersebut di wilayah masing-masing sehingga anak-anak ranting juga bergerak. Yang penting itu hulunya, atau pencegahan. Itu yang kita edukasi ke teman-teman sampai anak ranting,” ungkapnya.

Terkait upaya menekan angka stunting, Bintang menggarisbawahi perlunya pendekatan menyeluruh, mulai dari edukasi pola makan, pola asuh, hingga sanitasi lingkungan. Menurutnya, penyelesaian di hilir tidak cukup tanpa menyentuh akar persoalan.

"Harapan Ibu Ketum, tidak hanya menurunkan. Melainkan, kalau bisa semangatnya *zero stunting*. Kami tidak bisa melakukan sendiri, perlu kolaborasi dan gotong royong tiga pilar partai," tutup Bintang Puspayoga.

Dengan kembali masuknya Bintang Puspayoga dalam jajaran pengurus inti DPP PDIP, suara perempuan dan Bali kembali mendapat tempat strategis dalam arah kebijakan partai ke depan. Ia menjadi simbol keberlanjutan gerakan kerakyatan dan pemberdayaan yang berpijak pada kerja nyata dan sentuhan langsung kepada masyarakat.

Share:

Kategori

Arquivo do blog

Definition List

Support