Foto: Istimewa
Bangli
Desa Penglipuran di Kabupaten Bangli tak lagi sekadar etalase desa wisata Bali. Kini, desa yang dikenal karena kebersihan dan keteraturan tata ruangnya itu melangkah lebih jauh dengan menerapkan konsep pariwisata regeneratif, sebuah pendekatan yang tak hanya menjaga alam dan budaya, tapi juga memperbaikinya bagi generasi mendatang.
Menteri Pariwisata Republik Indonesia, Widiyanti Putri Wardhani, menyebut Penglipuran sebagai “laboratorium hidup pariwisata berkelanjutan Indonesia.” Predikat itu bukan tanpa alasan. Desa ini memadukan filosofi konservasi dan kesejahteraan secara nyata di lapangan.
Ciri khas Penglipuran tampak dari tata ruangnya yang simetris, kebersihan yang nyaris sempurna, dan hutan bambu seluas 75 hektare yang dikelola mandiri oleh warga. Hutan itu menjadi sumber kehidupan: menjaga keseimbangan ekologi sekaligus mendatangkan ribuan wisatawan tiap bulan.
Dari sinilah lahir gagasan baru: konservasi tak harus mengorbankan ekonomi. Di Penglipuran, menjaga alam berarti menumbuhkan kesejahteraan.
“Penglipuran berhasil menjaga harmoni antara alam, budaya, dan ekonomi. Inilah arah baru pariwisata Indonesia,” ujar Widiyanti dalam kunjungan kerja, Selasa, 30 September 2025.
Di jantung desa berdiri Pasar Penglipuran, pusat ekonomi yang sepenuhnya dikelola masyarakat. Di sana, wisatawan dapat menemukan kerajinan bambu, kuliner tradisional, hingga kain khas Bali yang dijual langsung oleh warga. Tak ada investor besar, tak ada rantai distribusi panjang. Semua keuntungan kembali ke desa, membentuk ekonomi sirkular berbasis komunitas.
“Bagi kami, yang penting bukan sekadar ramai dikunjungi, tapi lestari. Kami ingin desa ini tetap hidup dan menjadi inspirasi,” kata Wayan Sumiarsa, pengelola Desa Penglipuran.
Selain panorama dan kearifan lokal, Penglipuran menawarkan pengalaman budaya yang interaktif. Wisatawan dapat belajar membuat canang sari, melukis di atas bambu, atau mencicipi Loloh Cemcem dan Kelopon Ketela Ungu, dua kuliner khas yang kini digemari turis mancanegara.
Pariwisata di Penglipuran bukan sekadar hiburan, tapi juga ruang pembelajaran tentang filosofi keseimbangan hidup Bali: palemahan, pawongan, dan parahyangan.
Penglipuran kini menjadi contoh konkret bahwa pariwisata tidak harus eksploitatif. Dengan menggabungkan prinsip ekologis, budaya, dan ekonomi lokal, desa ini membalikkan paradigma lama, dari industri yang menghabiskan menjadi industri yang membangun kembali.
Bagi banyak pihak, Penglipuran bukan hanya destinasi, tapi simbol kebangkitan cara berpikir baru dalam pariwisata Indonesia: bahwa keberlanjutan sejati hanya bisa lahir dari kemandirian dan kesadaran kolektif warga.






.jpeg)
0 comments:
Posting Komentar