Foto: Ilustrasi AI Gubernur Bali Wayan Koster resmi mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2025 yang melarang alih fungsi lahan pertanian ke sektor lain.Denpasar (aspirasibali.my.id)
Gubernur Bali Wayan Koster resmi mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2025 yang melarang alih fungsi lahan pertanian ke sektor lain. Kebijakan ini menjadi langkah strategis untuk mengamankan ketahanan pangan sekaligus mempertahankan ruang hidup agraris di tengah tekanan pembangunan dan ekspansi pariwisata.
Instruksi tersebut ditujukan kepada seluruh bupati dan wali kota di Bali, dengan penegasan agar pengendalian ruang dan perlindungan lahan pertanian dijalankan secara ketat, konsisten, dan tanpa kompromi.
Dalam pernyataan resminya, Koster menyebut kebijakan ini merupakan implementasi konkret visi pembangunan Bali yang tertuang dalam konsep Nangun Sat Kerthi Loka Bali serta Haluan Pembangunan Bali Masa Depan 100 Tahun Bali Era Baru 2025–2125.
“Kedaulatan pangan adalah fondasi masa depan Bali. Jika lahan pertanian terus menyusut, keberlanjutan pangan dan harmoni Bali akan terancam,” ujar Koster.
Respons atas Peringatan Pemerintah Pusat
Instruksi ini juga menindaklanjuti surat Menteri Pertanian RI Nomor B-193/SR.020/M/05/2025 yang menyoroti ancaman serius penyusutan lahan sawah di Bali akibat tekanan pariwisata dan pesatnya pembangunan. Koster menilai peringatan tersebut sebagai sinyal bahwa Bali membutuhkan kebijakan lebih tegas.
“Tidak boleh ada lagi toleransi terhadap alih fungsi lahan. Ini menyangkut keberlanjutan hidup masyarakat Bali dari generasi ke generasi,” tegasnya.
Sembilan Kewajiban untuk Pemerintah Kabupaten/Kota
Instruksi Gubernur memuat sembilan poin penting yang harus dilaksanakan. Di antaranya:
1. Larangan Mutlak Alih Fungsi Lahan Pertanian
Bupati dan wali kota dilarang melakukan atau menyetujui alih fungsi lahan pertanian, termasuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan Luas Baku Sawah (LBS), ke sektor non-pertanian.
Keputusan ini bersifat absolut—tidak ada alasan apa pun yang dapat dijadikan dasar perubahan fungsi.
2. Menjaga dan Mempertahankan Lahan Pertanian yang Sudah Ditetapkan
Pemerintah daerah wajib mempertahankan data, peta, dan luas lahan sesuai RTRW dan RDTR masing-masing.
3. Larangan Mengubah Peruntukan Ruang dalam RTRW dan RDTR
Perubahan peruntukan LP2B dan LBS dalam dokumen penataan ruang dihentikan total.
4. Pengawasan dan Penegakan Hukum
Pengawasan dilakukan hingga tingkat desa dan lingkungan, dengan penegakan hukum merujuk pada UU 41/2009 jo. UU 6/2023.
Koster menegaskan bahwa pelanggaran alih fungsi LP2B dapat dikenai pidana hingga lima tahun penjara serta denda satu miliar rupiah.
5. Insentif bagi Petani
Pemerintah daerah didorong memberikan insentif, penghargaan, atau dukungan kepada petani yang mempertahankan lahan produktifnya.
6. Pelaksanaan Secara Niskala-Sakala
Koster menambahkan unsur filosofi lokal bahwa upaya perlindungan lahan dilakukan secara fisik maupun spiritual.
“Kita menjaga alam bukan hanya secara nyata, tetapi juga secara niskala,” ujarnya.
Instruksi ini berlaku sampai terbitnya Peraturan Daerah Provinsi Bali mengenai Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian yang saat ini masih dalam proses penyusunan. Pendanaan pelaksanaan kebijakan akan bersumber dari APBD Semesta Berencana kabupaten/kota masing-masing maupun sumber sah lainnya. Instruksi ini juga ditembuskan kepada Mendagri, Mentan, serta Menteri ATR/BPN.
Menjaga Jatidiri Bali sebagai Pulau Agraris
Mengakhiri pernyataannya, Koster menekankan bahwa perlindungan lahan pertanian merupakan bagian dari menjaga identitas Bali sebagai pulau agraris yang berakar pada kearifan lokal.
“Pariwisata tidak boleh menggerus akar budaya dan kehidupan masyarakat Bali. Lahan pertanian adalah napas Bali. Kita wajib menjaganya demi masa depan generasi mendatang,” pungkasnya.