Badung
Masyarakat Desa Adat Ungasan kembali bersuara lantang menuntut Manajemen Garuda Wisnu Kencana (GWK) menepati janji lama terkait akses Jalan Magadha menuju Banjar Giri Dharma. Meskipun tembok penghalang telah dibongkar sebagian, warga menilai langkah itu belum menyelesaikan persoalan, bahkan dianggap melanggar kesepakatan yang sudah dibuat sejak 30 Oktober 2007.
Sikap tegas masyarakat dituangkan dalam Berita Acara Paruman Prajuru Desa Adat Ungasan Nomor 06.1/DAU/X/2025, yang digelar pada 4 Oktober 2025 di Kantor Perbekel Desa Ungasan. Paruman yang dihadiri perangkat desa, prajuru adat, sabha desa, hingga kelian banjar adat itu membahas soal pemagaran beton oleh Manajemen GWK/PT GAIN.
Dalam pertemuan tersebut, masyarakat Desa Adat Ungasan menyepakati 10 poin tuntutan utama sebagai berikut:
1. Mendorong pelaksanaan rekomendasi DPRD Provinsi Bali yang telah disampaikan kepada Gubernur Bali dan Bupati Badung agar GWK membongkar serta memindahkan pagar beton ke sisi utara dan timur, baik di lingkar timur maupun barat, sehingga tidak menutup akses warga menuju rumah mereka.
2. Jika GWK tidak melaksanakan rekomendasi tersebut, Desa Adat Ungasan bersama lembaga adat dan dinas akan menggelar jumpa pers dan menyampaikan aspirasi masyarakat kepada media agar publik mengetahui ketidakpatuhan GWK.
3. Bila setelah pernyataan sikap itu GWK tetap tidak membongkar pagar sesuai aspirasi masyarakat, seluruh warga bersama lembaga adat dan dinas akan menduduki pintu gerbang GWK sebagai bentuk protes.
4. Pemerintah Desa Adat dan Desa Dinas diminta tidak menandatangani izin kegiatan apapun bagi PT GAIN/GWK selama pagar belum dibongkar sepenuhnya sesuai rekomendasi DPRD Bali.
5. Menolak rencana pengalihan jalan alternatif yang ditawarkan GWK dan menegaskan bahwa akses menuju rumah penduduk serta SD Negeri 8 Ungasan harus dipertahankan seperti semula
6. Menuntut agar Manajemen GWK menjaga hubungan harmonis dengan masyarakat lokal, memberikan kepastian hukum, dan tidak lagi melakukan penutupan akses jalan warga, siapa pun manajemennya di masa depan.
7. Menyesalkan perbedaan data antara BPN Badung dan BPN Kanwil Bali terkait status jalan lingkar timur dan barat GWK, karena menunjukkan lemahnya koordinasi antarinstansi dan membingungkan publik.
8. Menegaskan bahwa berdasarkan berita acara 3 September 2007, telah ada badan jalan dan Pemerintah Kabupaten Badung bahkan pernah mengaspal jalan di lingkar timur dan barat sebagai fasilitas umum.
9. Menggarisbawahi bahwa pengaspalan jalan hanya dilakukan karena warga telah merelakan tanahnya untuk kepentingan umum, sehingga penutupan jalan saat ini dianggap mencederai pengorbanan tersebut.
10. Menuntut GWK mematuhi PP Nomor 18 Tahun 2021 Pasal 43 huruf a, yang melarang menutup atau mengurung pekarangan maupun bidang tanah lain yang menjadi akses publik atau jalan umum.
Bendesa Adat Ungasan, I Wayan Disel Astawa, menegaskan bahwa masyarakat telah lama menunjukkan itikad baik dengan menempuh jalur komunikasi, mediasi, dan surat resmi kepada pihak GWK. Namun, hingga kini belum ada langkah konkret yang menunjukkan penyelesaian tuntas.
“Yang kami harapkan adalah ketegasan. Pembongkaran sebagian pagar bukan solusi, karena lokasi yang digali sekarang bukan badan jalan sebagaimana kesepakatan 2007,” ujar Disel Astawa.
Ia menambahkan, berdasarkan berita acara 30 Oktober 2007, PT GAIN selaku pemilik awal kawasan GWK telah sepakat membuka akses jalan selebar lima meter bagi masyarakat Banjar Giri Dharma dan Desa Adat Ungasan. Kesepakatan itu kini diabaikan setelah terjadi perubahan kepemilikan lahan.
“Walaupun dijual, PT GAIN tidak bisa menghapus perjanjian itu karena badan hukumnya masih ada. Pergantian manajemen atau pemilik tidak boleh mengingkari komitmen yang sah,” tegasnya.
Sementara itu, pihak Manajemen GWK dalam keterangan persnya pada 8 Oktober 2025 menyatakan telah menggeser pagar beton di sisi selatan kawasan dan sedang menyiapkan jalur pengalihan sebagai akses alternatif bagi warga Banjar Giri Dharma. Pihaknya menegaskan langkah itu dilakukan untuk menjaga harmonisasi antara kepentingan masyarakat lokal dan pengelolaan kawasan pariwisata.
Namun, warga menilai langkah itu tidak sesuai dengan kesepakatan awal karena justru memanfaatkan lahan warga lain yang sudah dibangun. Mereka tetap bersikeras agar akses Jalan Magadha menuju Pura Pengulapan dikembalikan seperti semula sesuai kesepakatan 2007.







0 comments:
Posting Komentar