Foto: Direktur Utama BPR Kanti, Made Arya Amitaba, SE., MM.
Gianyar
Pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar Rp200 triliun melalui lima bank milik negara untuk memperkuat likuiditas dan mempercepat perputaran ekonomi nasional. Dukungan dana jumbo ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian daerah.
Namun di balik optimisme tersebut, muncul kekhawatiran akan potensi terjadinya kanibalisasi debitur, terutama terhadap lembaga keuangan rakyat seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kondisi ini pernah terjadi ketika program Kredit Usaha Rakyat (KUR) digenjot beberapa tahun lalu, di mana sejumlah bank umum membidik nasabah BPR sebagai debitur demi mempercepat penyaluran kredit. Situasi serupa dikhawatirkan kembali terulang jika penyaluran dana jumbo dilakukan tanpa perencanaan yang matang.
Direktur Utama BPR Kanti, Made Arya Amitaba, SE., MM., menegaskan bahwa penyaluran dana harus dilakukan dengan pendekatan yang terukur dan menyeluruh.
“Sebagai community bank, BPR berada langsung di tengah masyarakat dan berfungsi membantu UMKM agar tidak terjerat rentenir. Jika praktik kanibalisasi debitur terjadi, maka bukan hanya BPR yang terancam, tetapi juga keberlangsungan UMKM yang selama ini terbantu dengan akses pembiayaan dari lembaga keuangan rakyat,” ujarnya.
Ia menilai kebijakan pemerintah melalui Kementerian Keuangan tersebut memiliki arah yang baik karena mampu menggairahkan perekonomian daerah. BPR, kata dia, menyambut positif langkah ini karena dapat memperkuat daya saing UMKM dan mendorong pertumbuhan ekonomi dari akar rumput. Namun, agar kebijakan tersebut berjalan efektif, pemerintah perlu memastikan mekanisme penyaluran dana berlangsung secara holistik dan simultan, bukan sekadar mengejar target percepatan penyaluran.
Menurut Arya Amitaba, tantangan terbesar kini adalah memastikan Rp200 triliun tersebut benar-benar tersalurkan ke sektor riil secara cepat dan tepat sasaran. Jika tidak, dana yang telah disalurkan justru bisa menjadi beban bagi bank-bank umum akibat kewajiban bunga dari dana yang belum berputar. Di sinilah, menurutnya, BPR memiliki peran strategis sebagai jembatan antara bank umum dan UMKM, karena memiliki kedekatan sosial dan jaringan langsung di tingkat masyarakat.
“Sejak awal berdirinya berdasarkan Pak 288, BPR didirikan sebagai community bank yang hadir di tengah masyarakat, khususnya untuk membantu UMKM agar tidak terjerat rentenir. Karena itu, dana pemerintah ini harus benar-benar sampai ke masyarakat agar perekonomian berputar lebih cepat dan positif,” jelasnya.
Lebih jauh, Arya Amitaba mengingatkan bahwa kerja sama antara bank umum dan BPR bukan hal baru. Ia mencontohkan pengalaman pada periode 2006–2010, ketika Bank Indonesia mewajibkan bank umum menyalurkan 20% portofolio kreditnya kepada UMKM. Saat itu, melalui pembentukan Pokja Linkage yang melibatkan Bank Indonesia, bank umum, dan BPR, penyaluran kredit berhasil dilakukan dengan efektif.
“Program tersebut terbukti berjalan baik. Jadi sekarang tinggal melanjutkan pola yang sama agar dana Rp200 triliun dari pemerintah benar-benar sampai ke masyarakat UMKM melalui peran BPR,” ujarnya menegaskan.
Kolaborasi antara bank umum dan BPR diharapkan mampu mencegah tumpang tindih penyaluran kredit serta menghindari praktik kanibalisasi debitur. Dengan demikian, kebijakan pemerintah ini tidak hanya mempercepat perputaran uang, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi rakyat dari bawah secara berkelanjutan.







0 comments:
Posting Komentar