Denpasar (aspirasibali.my.id)
Yadnya dalam ajaran Hindu merupakan persembahan suci yang dilaksanakan secara tulus ikhlas berdasarkan dharma, dengan tujuan menghadirkan kesejahteraan dan kesempurnaan hidup bersama. Secara etimologis, istilah “yadnya” berasal dari bahasa Sanskerta “yaj”, yang berarti memuja, mengorbankan, atau berkorban. Konsep ini tidak hanya terwujud melalui rangkaian upacara keagamaan, tetapi juga melalui tindakan-tindakan sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tradisi Hindu, yadnya dibagi menjadi lima jenis utama yang dikenal dengan Panca Yadnya.
Dalam pelaksanaannya, unsur ketulusan atau satwika menjadi landasan utama. Yadnya idealnya dilakukan sesuai kemampuan tanpa tekanan, keterpaksaan, atau dorongan gengsi. Ketika unsur-unsur tersebut mendominasi, esensi yadnya justru kabur dan makna filosofisnya berkurang.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, I Nyoman Kenak, menegaskan pentingnya memahami ketiga tingkatan upacara yadnya yang dikenal dalam tradisi Bali: nista, madya, dan utama. Menurutnya, tingkatan nista atau kanistan kerap disalahpahami sebagai sesuatu yang rendah, padahal justru menjadi dasar atau pokok dari pelaksanaan yadnya.
“Upacara tingkatan kanistan bukan berarti sesuatu yang buruk; justru kanistan berarti pokok atau dasar. Banten atau sarana yang digunakan dapat disesuaikan, misalnya cukup dengan pejati, soda, atau rayunan, sesuai kemampuan,” ujarnya.
Ia menambahkan, di tengah kehidupan masyarakat modern, gengsi dalam pelaksanaan yadnya semakin terasa. Padahal, kanistan, madya, dan utama memiliki peran masing-masing sesuai kemampuan umat. Kanistan sendiri bukanlah tingkatan yang dianggap kurang, tetapi inti dari sebuah yadnya.
Dalam penjelasannya, I Nyoman Kenak mengibaratkan tingkatan upacara seperti berpakaian. Pakaian pokok cukup kaos dalam dan kemeja, sementara jas hanya tambahan. Demikian pula dalam yadnya, unsur utama adalah banten pokok seperti byakaonan, byakala, soda, dan rayunan. Unsur tambahan seperti tumpeng solas atau udel kurenan berfungsi sebagai pelengkap, bukan kewajiban.
"Seperti pakaian pokok yang hanya memerlukan kaos dalam dan kemeja, sementara jas hanyalah tambahan untuk tampilan. Demikian pula dalam upacara, yang terpenting adalah unsur pokoknya, banten bayakaonan, byakala, soda, rayunan. Tambahan seperti tumpeng solas atau udel kurenan bersifat pelengkap, bukan kewajiban," terangnya.
Menurutnya, pemahaman ini perlu terus digiatkan agar umat tidak terjebak dalam tuntutan sosial atau kebiasaan yang memperbesar biaya dan gengsi. Sosialisasi yang berkelanjutan dinilai penting untuk mengingatkan kembali bahwa inti yadnya adalah ketulusan, kesederhanaan, dan kemampuan masing-masing umat.
"Sosialisasi perlu terus dilakukan agar umat tidak terjebak dalam gengsi, tetapi kembali pada esensi yadnya: tulus, sederhana, dan sesuai kemampuan,"pungkasnya.
Dengan pemahaman tersebut, pelaksanaan yadnya diharapkan kembali kepada esensinya: memperkuat spiritualitas tanpa dibebani keharusan yang melampaui kemampuan, serta menjaga makna suci yadnya tetap hidup di tengah masyarakat Bali.







0 comments:
Posting Komentar